Saturday, January 24, 2009

Potret Buram TKI

Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian ungkapan yang paling pas untuk menggambarkan nasib buruh migran kita di luar negeri. Mereka menjadi korban tiga kali.

Pertama, mendapat tindak kekerasan. Kedua, tiada kebebasan untuk melakukan perlawanan. Ketiga, tak adanya atau minimnya jaminan perlindungan, baik dari negara tujuan maupun pemerintah Indonesia.

Kekerasan demi kekerasan terhadap para buruh tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sepertinya menjadi cerita panjang yang tak pernah usai. Kasus terbaru menimpa Sukasih, TKI asal Jatim, yang terjatuh dari balkon lantai empat sebuah apartemen di Tengkera, Malaka, Malaysia.

Seperti di lansir harian Malaysia The Star (23/9/2008), Sukasih terjun bebas dan sebuah apartemen. Dia terpeleset saat memanjat pagar balkon. Jatuhnya Sukasih ini diduga lantaran menghindari kejaran polisi Diraja Malaysia karena yang bersangkutan tidak memiliki dokumen resmi. Sukasih dilarikan ke Malacca Hospital. Namun, dua jam kemudian nyawanya tidak tertolong lagi.

Selang beberapa muncul kasus baru, yakni terkatung-katungnya nasib jenazah TKI Jatim yang belum bisa dipulangkan ke Indonesia. Adalah Siti Tarwiyah, seorang TKI asal Bilitar, yang kematiannya diduga tidak wajar. Menurut Direktur Migran Care, Anis Hidayah, Siti Tarwiyah sudah meninggal 50 hari lalu. Namun, sampai saat ini belum bisa dipulangkan karena terbentur birokrasi di Arab Saudi yang ribet dan berbelit-belit. Sudah meninggal saja para TKI kita sangat diperlakukan tidak manusiawi, apalagi ketika masih hidup (Radar Surabaya, 24/9/2007) Korban kekerasan

Dari sekian banyak TKI yang bekerja di luar negeri, sebagian besar TKI berpotensi menjadi korban kekerasan, baik itu kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi. Dan memang sebagian besar korban kekerasan terhadap TKI di luar negeri adalah kaum perempuan. Dan saat ini sudah ada ratusan, bahkan ribuan TKI, yang menjadi koran tindak kekerasan di luar negeri, baik TKI yang masih bertahan di luar negeri maupun yang sudah kembali.

Sebagian besar TKI yang pulang akibat tindak kekerasan majikannya dalam kondisi fisik dan psikis yang sangat memprihatinkan. Bahkan, ada yang sampai meninggal dunia. Berangkat dalam keadaan hidup, pulang dalam kondisi meninggal. Nasib TKI sungguh sangat mengenaskan. Namun, semakin banyak kasus kekerasan terhadap TKI, sepertinya bagaikan tontonan yang tak pernah mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang memadai dari pihak Pemerintah Provinsi Jatim.

Persoalan perlindungan terhadap TKI di luar negeri dinilai masih sangat rendah. Ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menimpa TKI di luar negeri tanpa mendapat advokasi dan perlindungan yang memadai. Bahkan, perbagai persoalan yang menimpa TKI cenderung dibiarkan begitu saja. Yang paling parah menimpa TKI.

Selain masalah upah yang tak dibayar atau tidak sesuai standar ketenagakerjaan, persoalan yang sering kali dialami adalah masalah kekerasan. Sebagian besar TKI mendapat perlakuan dan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik, psikologis, maupun kekerasan seksual dari keluarga majikan.

Menurut catatan Migran Care, pada tahun 2007 ada sekitar 61 TKI yang meninggal di luar negeri, sebanyak 28 TKI mengalami perlakuan tindak kekeraan, dan 56 TKI terancam hukuman cambuk atau mati. Bahkan, ada beberapa TKI yang dituduh membunuh majikannya.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa pembunuhan tersebut dalam rangka membela diri. TKI yang bersangkutan sebelumnya terus menjadi korban kekerasan dari majikan dan anaknya, terutama kekerasan seksual (baca: pemerkosaan).

Pahlawan devisa

Pengakuan akan sumbangan besar TKI bagi perekonomian tak mampu mengubah nasib mereka, terutama para TKI yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kondisi para TKI tak terdidik di luar negeri bagaikan "budak" yang mudah dipermainkan dan diperlakukan sewenang-wenang.

Ironisnya, kasus kekerasan terhadap TKI di luar negeri ini tak pernah berhenti atau setidaknya berkurang, justru kasusnya semakin membengkak. Kekerasan terhadap TKI di luar negeri akhirnya menjadi "menu bulanan" kita. Dan yang paling memprihatinkan lagi, perlindungan dari pemerintah yang dinilai sangat rendah.

Pemerintah seperti mau enaknya saja dalam memperlakukan para TKI di luar negeri. TKI bagaikan habis manis sepah dibuang. Hanya ambil manisnya, ampasnya dibuang. Padahal, secara ekonomi, sumbangan devisa TKI di luar negeri sangat besar.

Menurut catatan Migran Care, secara ekonomi dalam setahun sumbangan devisa TKI diperkirakan Rp 68 triliun. Angka itu luar biasa besarnya, tetapi perlindungannya luar biasa kecilnya. Untuk Jawa Timur, pada tahun 2006 jumlah kiriman uang dari TKI Jatim di luar negeri mencapai Rp 2,565 triliun.

Meskipun sudah ada perjanjian bilateral antara pemerintah dan negara tujuan penempatan TKI, mengapa tindak kekerasan terhadap TKI tak kunjung berhenti atau setidaknya berkurang. Selama ini pemerintah masih sebatas atau sekadar melakukan perjanjian pada tahap "penempatan" saja, belum menyentuh secara konkret terkait persoalan sosial dan hukum yang menimpa para TKI, terutama masalah perlindungan atau advokasi sosial dan hukum.

Karena itu, ke depan, Pemerintah Indonesia harus tegas dan jelas dalam melakukan perjanjian bilateral terkait dengan pengiriman TKI. Perlu ada jaminan dan perlindungan hukum yang konkret di atas kertas. Selain itu, juga perlu ada seleksi yang lebih ketat dalam masalah pengiriman TKI, terutama dalam hal kualitas SDM.

Rofi' Munawar Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, dari PKS


Sumber

0 comments:

Post a Comment

Design by Free blogger template