INI merupakan kasus lebih baru dari perempuan buruh migran asal Indonesia di Arab Saudi setelah kasus Kartini. Saat ini Imas binti Sugandi terancam pidana dengan tuduhan menelantarkan atau membuang anak. Ia masih ditahan, kasusnya tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.Imas binti Sugandi (27) adalah ibu dua anak, asal Cianjur, yang diperkosa sesama pekerja asal Nepal di Riyadh, Arab Saudi. Ia baru mulai bekerja pada bulan Maret 1999. Majikannya memintanya pulang pada akhir bulan Oktober 1999, karena sang majikan takut ketika tahu Imas hamil tanpa suami. Hukum di Saudi untuk kasus seperti ini sangat berat bagi perempuan.
Pada tanggal 1 November Imas bertolak ke Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia. Sekitar satu jam sebelum mendarat, ia merasa ingin buang air kecil. Saat di toilet pesawat itulah ia melahirkan bayi perempuan. Imas sangat kaget karena ia tidak merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Ia juga tidak mengalami pendarahan seperti lazimnya perempuan yang melahirkan.
Imas kemudian mengangkat bayi dari lubang toilet, dan dalam keadaan panik diambilnya tisu untuk membungkus bayi tersebut. Ia makin panik mendengar ketukan pintu toilet dari penumpang lain yang akan menggunakan toilet tersebut. Masih dalam keadaan panik, Imas kemudian memasukkan bayi yang dibungkus tisu ke dalam locker toilet dan membersihkan bercak-bercak darah, lalu kembali ke tempat duduknya. Ia masih sempat meminjam kain dari beberapa TKW yang duduk di dekatnya untuk membungkus bayinya, tetapi tidak ada yang memberikan, sementara pramugari mengumumkan pesawat segera mendarat.
Petugas kebersihan menemukan bayi perempuan dalam locker pesawat dan langsung menghubungi dokter Bandara. Bayi itu kemudian mendapat perawatan seperlunya, namun karena kondisi tubuhnya lemah, ia dibawa ke Rumah Sakit Asih Tangerang. Imas kemudian ditangkap di terminal khusus untuk TKI (terminal 3), setelah dokter menemukan tanda bahwa ia baru saja melahirkan. Imas dibawa ke RS Asih, kemudian menjadi tahanan Polsek khusus Cengkareng, dengan tuduhan melakukan perbuatan pidana, meninggalkan (membuang) bayi.
"Imas sebenarnya tidak ingin membuang anaknya," ujar Ny Farida Djoko, mahasiswa S-2 Kajian Wanita Universitas Indonesia yang sedang magang pada Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia- Solidaritas Perempuan (SP-LABMI) LSM yang menangani masalah ini bersama Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK). "Tetapi, ia panik dan takut karena bayi itu lahir di luar perkawinan, meskipun ia diperkosa."
***
IMAS adalah satu contoh lagi bagaimana perempuan harus menanggung sendiri akibat dari suatu perbuatan yang tidak ia kehendaki. Dalam masyarakat dengan budaya patriarkhal yang kental, perempuan yang hamil dan melahirkan di luar perkawinan resmi, dengan alasan apa pun, akan selalu disalahkan, dicerca, distigmatisasi, sementara ia sendiri terus didera rasa bersalah.
Kisah Imas juga melengkapi kisah-kisah lain yang tak kalah dramatis dari para perempuan buruh migran pekerja rumah tangga asal Indonesia di luar negeri, yang harus melahirkan bayi-bayi di luar perkawinan resmi, yang kemudian harus menanggung beban materi dan psikologis sendiri di kampung asalnya.
Namun, persoalan yang berkaitan dengan kesehatan perempuan, khususnya kesehatan reproduksi tak hanya terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki. Berbagai jenis penyakit seksual menular, termasuk HIV/AIDS merupakan bagian dari kesehatan reproduksi yang tidak banyak diketahui para pekerja migran. Padahal sebagian besar perempuan buruh migran tergolong dalam angkatan kerja berusia subur (20-39 tahun).
Gambaran ini sangat penting untuk memahami bahwa posisi fungsi reproduksi perempuan sangat strategis. Dalam soal biaya, angka-angka ini seharusnya mampu memotivasi semua pihak bahwa biaya reproduksi tidak kecil dan karenanya harus menjadi biaya sosial, beban bersama.
Ironisnya, dalam pelatihan sebelum diberangkatkan ke luar negeri, pengetahuan tentang reproduksi perempuan tidak termasuk dalam kurikulum pelatihan yang telah dibakukan Departemen Tenaga Kerja, kecuali pelatihan tentang kesehatan lingkungan.
Dengan pengetahuan yang serba terbatas mengenai kesehatan dirinya sendiri dan ketiadaan akses pada pelayanan kesehatan di negara penerima, para perempuan buruh migran itu harus menghadapi berbagai persoalan seorang diri. Kalau ia sampai hamil akibat diperkosa atau ditipu dan tak ada pilihan selain harus melahirkan bayinya, dalam jangka panjang hal itu akan menjadi beban sosial, baik bagi anak, bagi keluarga, maupun komunitas di tempat asalnya.
Berbeda dengan situasi di Filipina, di mana beberapa LSM seperti Batis Center for Women bekerja untuk mencari ayah biologis dari anak-anak berayah Jepang dari para ibu Filipina, yang sebelumnya bekerja sebagai penghibur (karena ditipu atau dipaksa) di Jepang, di Indonesia belum tampak ada upaya serupa. Juga berbeda dengan sikap Pemerintah Filipina yang mencari solusi persoalan ini secara politis, Pemerintah Indonesia tampak tidak mau tahu, karena mungkin menganggap hal ini sebagai aib.
***
RENDAHNYA pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tak hanya menjadi monopoli buruh migran asal Indonesia. Seperti dikatakan Aurora Javate de Dios dari Coalition Vs Trafficking of Women (Asia-Pacific) dalam diskusi mengenai Migrasi dan Kesehatan reproduksi di Bangkok, 22-23 Februari 2001, buruh migran dari mana pun berada pada situasi serupa.
"Perempuan menghadapi risiko besar karena pengetahuan mereka mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi relatif rendah," ujarnya. "Hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual tidak dibicarakan secara terbuka di antara perempuan dan negara pengirim tidak memberi perhatian dan informasi yang cukup tentang masalah ini dalam pelatihan sebelum diberangkatkan."
Menurut de Dios, kehamilan dan terinfeksi penyakit seksual menular termasuk HIV/AIDS sangat jauh dari bayangan para buruh migran ketika mereka berangkat. "Kebutuhan akan pelayanan kesehatan secara umum berada pada prioritas terendah karena pikiran mereka dipenuhi oleh bagaimana mendapatkan uang dan bisa mengirimkannya ke rumah," sambung de Dios, seraya melanjutkan, kecuali dinyatakan dalam kontrak kerja, jaminan kesehatan tidak secara umum diberikan kepada perempuan buruh migran.
"Pada umumnya buruh migran tidak mempunyai akses kepada pelayanan kesehatan di negara penerima. Itu belum termasuk hambatan kultural dan bahasa. Tidak adanya keluarga dan jaring dukungan sosial dalam masalah kesehatan membuat perempuan buruh migran semakin tidak berdaya di luar negeri," tambahnya.
Pada hampir semua negara penerima buruh migran pekerja rumah tangga seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Arab Saudi, majikan langsung menyimpan paspor dan visa kerja para pekerja rumah tangga dan mereka yang bekerja di bidang hiburan. Situasi ini menyebabkan mobilitas mereka terhambat, termasuk dalam situasi darurat menyangkut kesehatannya karena tidak adanya dokumen legal di tangan mereka.
Substitusi kontrak merupakan praktik tidak tertulis pada banyak negara penerima ketika buruh migran dibayar lebih kecil dari upah yang dijanjikan dalam kontrak. Situasi ini menyebabkan perempuan mengesampingkan kebutuhan mereka akan pelayanan kesehatan dan pengobatan hanya supaya bisa mengirim uang lebih banyak ke rumah.
Kebijakan pemerintah di beberapa negara, seperti Singapura, menuntut perempuan buruh migran melakukan tes kehamilan setiap enam bulan. "Peraturan ini terasa sangat rasis. Tidak ada ketentuan atau hukum yang jelas bagi pemerkosa. Sebaliknya, perempuan yang langsung dideportasi," tegas de Dios.
De Dios memaparkan, para pemilik bar di Jepang, acapkali memaksa buruh migran yang bekerja sebagai pelayan bar untuk melayani kebutuhan seksual para pelanggan. Mereka yang, karena "pekerjaan tambahan" itu menjadi hamil, tidak diberi bantuan, malah langsung dikeluarkan. Dalam sebuah studi yang dilakukan suatu organisasi migrasi internasional ditemukan 18 persen responden dipaksa melakukan hubungan seks tanpa kondom.
Selain itu, terjadi praktik-praktik yang dilakukan majikan bersama dengan agen-agen rekrutmen untuk memindahkan perempuan dari satu tempat ke tempat lain; sesuatu yang tidak dinyatakan tertulis di dalam kontrak kerja. Dalam proses perpindahan itu, perempuan kehilangan kontrol akan kondisi kerjanya dan secara total menjadi bergantung kepada majikan.
Posisi buruh migran, hambatan bahasa dan tidak adanya hukum perburuhan yang jelas, khususnya untuk buruh migran, menyebabkan para pekerja tidak bisa melakukan negosiasi untuk mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik. Situasinya bertambah buruk karena biasanya para pemilik bisnis hiburan melibatkan sindikat kriminal seperti Yakuza dalam bisnis mereka.
Di Timur Tengah, pekerja rumah tangga yang lari dari rumah tempatnya bekerja karena tidak tahan terhadap perlakuan kejam majikannya-termasuk upaya perkosaan-langsung dideportasi, tanpa melihat terlebih dulu duduk soalnya.
Menurut LSM Tenaganita dari Malaysia-LSM yang bekerja untuk buruh migran di Malaysia-sedikitnya 300 pekerja di Malaysia, sebagian besar adalah pekerja rumah tangga asal Filipina, dipenjara oleh berbagai sebab. Di tempat seperti itu pun kekerasan seksual mudah dilakukan, terbukti dengan kehamilan sejumlah perempuan.
Beberapa negara penerima lain seperti Malaysia dan Thailand, melakukan tes AIDS terhadap buruh migran tanpa meminta persetujuan terlebih dulu. Mereka yang diketahui positif HIV, langsung dideportasi tanpa bantuan apa pun. Dalam kasus perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan dan dijual ke rumah-rumah pelacuran, bantuan kemanusiaan sama sekali tidak ada.
Sekitar 2000 perempuan dan anak gadis asal Nepal yang dalam tes seperti itu diketahui terinfeksi HIV setelah dipaksa (dan ditipu) menjadi pekerja seks di sejumlah rumah bordil di India, langsung dideportasi, sementara Pemerintah Nepal menolak mengakui mereka sebagai warga negara.
***
HAL paling ironis dalam abad ini barangkali bisa dilihat dari peningkatan dramatik dari standar-standar hak asasi manusia, namun pada saat bersamaan praktik-praktik yang dilakukan, baik oleh negara maupun aktor lainnya, semakin menginjak kemanusiaan manusia.
Dalam isu-isu seperti ini tak ada satu pun hal yang bisa dipisahkan satu sama lain; seluruh sistem yang berpilin dalam kebudayaan, sistem dan ekonomi yang tidak memandang perempuan dan anak-anak sebagai manusia.
Program intervensi telah dicoba dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat, di tingkat regional dipimpin oleh Asian Migrant Center (AMC) dan Migrant Forum in Asia (MFA), di antaranya program reintegrasi dan kelompok penabung, mengorganisasi para keluarga migran di tingkat akar rumput, pelatihan untuk membangun kapasitas di tingkat akar rumput dan lain-lain, selain upaya yang terus-menerus untuk mendesak pemerintah menandatangani berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan buruh migran.
Selain itu juga telah terbentuk Regional Conference on Migration (RCM) yang akan berfungsi sebagai lembaga strategis untuk menganalisa berbagai isu migrasi di Asia, kecenderungannya dan memformulasikan strategi ke depan.
Namun, persoalan migrasi tak hanya menyangkut pergerakan manusia oleh sebab ekonomi semata. Saat ini terdapat sedikitnya tujuh hal yang menyebabkan terjadinya migrasi secara paksa, yakni konflik bersenjata, konflik etnik dan rasial, model globalisasi ekonomi pasar bebas, bencana alam dan kerusakan lingkungan, pembangunan yang menyebabkan terusirnya sejumlah penduduk dari tempat tinggal asal, penolakan terhadap demokrasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi.
Sayang, diskusi di Bangkok tidak mengupas lebih dalam masalah ini.
Sumber