Monday, February 16, 2009

Tangis di Terminal 3

Nama anak itu Tulus Sucipto. Bulan Oktober 2003, umurnya genap satu tahun. Anak yang tampak ceria dan tak segan digendong siapa saja ini tumbuh sehat dan aktif. Orang-orang di lingkungannya mengatakan: “Kami mengasuhnya bersama-sama”. Anak komunitas ini, memiliki pengasuh tetap, yang menganggapnya sebagai anak angkat, walaupun tanpa legalitas surat adopsi.

Siapa menyangka Tulus yang tumbuh sehat ini memiliki latar-belakang kelam. Ia dilahirkan dari rahim seorang ibu Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang tergopoh-gopoh pulang dari Timur Tengah. Begitu pesawat mendarat di tanah air, ibu yang mengandungnya langsung menuju toilet Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta untuk melahirkannya. Pak Najib, seorang petugas Cargo di Bandara yang kebetulan berada di dekat toilet itu, membantu sebisanya. Setelah sedikit pulih dari persalinan darurat, perempuan itu pun meninggalkan anak yang dilahirkannya, dan membiarkan Pak Najib mengasuhnya. Jelas, anak itu dianggap membawa aib. Anak tak berdosa ini lahir dari ibu yang menderita karena pelecehan seksual, perkosaan, dan penganiayaan. Di toilet Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, setidaknya sudah dua TKW melahirkan di sana. Di perkampungan dekat Bandara Soekarno-Hatta, sudah belasan anak TKW yang diadopsi penduduk setempat--anak-anak terlantar yang sulit mendapatkan pengakuan dari ibu dan bapak biologisnya.

Inilah gambaran betapa berat taruhan yang harus diambil para Tenaga Kerja Indonesia (TKI), khususnya TKW yang mengais pekerjaan di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga. Data yang dihimpun Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI), di tahun 2002 tercatat begitu banyak masalah yang menimpa TKI, mulai dari penelantaran (2,478), penipuan (1,685), penyekapan (470), pelecehan seksual (31), pemerkosaan (27) dan bahkan kematian (177). Data Depnakertrans tahun 2002 memperlihatkan, dari 319,029 TKI yang pulang melewati Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, sedikitnya 37,508 (11.75%) mengaku mendapat berbagai masalah, dari penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, PHK sepihak, hingga gaji yg tidak dibayar. Demikian juga laporan Amnesty International tahun 2002 disebutkan, untuk Saudi Arabia saja, setidaknya 19,000 pembantu rumah tangga melarikan diri, yang salah satu sebabnya tindak kekerasan domestik (domestic violence). Kekerasan demi kekerasan nampaknya mewarnai bisnis tenaga kerja ini. Karena itu, di Bandara Juanda, Surabaya, peti mati pun berdatangan begitu seringnya, walau pun luput dari perhatian.

Pemerkosaan, pelecehan seksual, tindak kekerasan yang diterima TKW Indonesia, membawa trauma luar biasa. Di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta, arus pasen TKW bergantian keluar masuk untuk mendapatkan perawatan karena gangguan jiwa. Saat Nurcholish Madjid menjenguk, salah satu dari mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Suaranya parau, dan tatapannya wajah kosong.

Bandara megah bernama Soekarno-Hatta, menjadi saksi tragisnya derita anak bangsa. Derita ini tampaknya akan terus berlanjut. Di tahun 2003 ini, dari Januari hingga September, data Depnakertrans telah menunjukkan setidaknya 27, 308 TKI (12.14%) yang kembali melalui Terminal 3 mengiba karena ditimpa berbagai masalah. Luka di badan akibat pukulan, siram air panas atau pun cairan kimia, penipuan, perkosaan hingga gaji tak dibayar mewarnai pengaduan mereka. Mereka mengiba dan tanpa tanda-tanda ada pembelaan. Mereka disiksa di negari orang, dan tak jarang masih diperas di negeri sendiri.

Apa dosa negeri ini? Pertama, semua ini terjadi akibat gagalnya negara dalam menciptakan lapangan kerja, khususnya untuk golongan usia muda pada penduduk lapisan bawah. Masa krisis telah meningkatkan jumlah penduduk miskin. Angka pengangguran terbuka menggila, yang pada tahun 2002 diperkirakan mencapai 9.1 juta orang, dan pengaggur terselubung menjapai 33.7 juta (Pidato Presiden di Sidang Tahunan MPR 2003). Angka yang lebih besar bahkan ditunjukkan BAPPENAS. Untuk proyeksi tahun 2003 dan 2004, pengangguran terbuka mencapai 10.13 juta orang (9.85% dari angkatan kerja), dan untuk tahun 2004, 10.83 juta orang (10.32% dari angkatan kerja). Lonjakan angka pengangguran ini terlihat jelas jika di banding angka tahun 1996 semasa Orde Baru, yang hanya mencapai 4.3 juta (4.86% dari angkatan kerja). Carut marutnya situasi ketenagakerjaan ini bisa jadi merupakan masalah warisan yang diciptakan semasa Orde Baru. Namun, harusnya di era reformasi ini, pemerintah membanting tulang memfokuskan diri pada program penciptaan lapangan kerja, sambil secara tegas mengganyang inefisiensi dan praktek-praktek korupsi. Apa akibatnya bila hal ini gagal dilakukan? Tak pelak lagi, arus pencari kerja meledak, dan tuntutan untuk menjadi TKI, betapapun tinggi resiko yang harus dihadapi, akan tetap tinggi.

Kedua, meledaknya tuntutan pencari kerja ini mengalami komplikasi akibat gagalnya negara meningkatkan akses dan kualitas pendidikan untuk rakyat. Dalam World Education Forum di Dakar-Senegal, tahun 2000, Indonesia masuk dalam negara yang disebut gagal menjalankan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Akhir-akhir ini, nampaknya situasi semakin buruk terlihat dari banyaknya gedung-gedung sekolah yang roboh, atau terbakar karena konflik-konflik sosial. Itu pun di sana-sini dijumpai korupsi yang parah di dunia pendidikan. Akibat semua ini, tenaga kerja yang kini masuk dalam bursa angkatan kerja adalah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah, yang hanya mampu menempati pekerjaan sebagai buruh kasar, seperti pembantu rumah tangga.

Sialnya, dalam situasi seperti ini, nasib para pekerja menjadi semakin tidak beruntung karena negara juga gagal memberikan perlindungan terhadap mereka. Coba lihat, para TKI sejak awal pemberangkatan, hingga penempatan dan pemulangan, hingga kini masih terus menjadi bulan-bulanan sasaran penipuan, eksploitasi, dan penyiksaan. Agar republik ini tidak menjadi republik biadab, mudah-mudahan, DPR dan Pemerintah segera mengesahkan UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Dalam masa jeda, tak salah bila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) berlakukan untuk memberikan payung hukum bagi langkah-langkah darurat yang harus secepatnya dilakukan. Minimal, langkah darurat itu meliputi menyelamatan TKI yang saat ini banyak terkatung-katung di luar negeri, baik tersekap di rumah maupun penjara, hingga korban-korban penipuan dan kekerasan yang melewati Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta

Hari ini kita semua bertanya. Siapa lagi politisi yang mampu menyaksikan kebiadaban berjalan luar biasa. Setiap hari tak henti dipersembahkan untuk bangsa terhormat bernama Indonesia.


Sumber

0 comments:

Post a Comment

Design by Free blogger template