Monday, February 16, 2009

TKW Melahirkan DI Toilet Majikan Di Malaysia


Kuala Lumpur - Seorang pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia terpaksa melahirkan bayinya di toilet rumah majikannya di Malaysia. Alasannya, dia takut majikannya mengetahui kehamilannya dan memulangkannya kembali ke Indonesia.

Saking takutnya, Yanti bahkan sempat menyembunyikan bayi yang baru dilahirkannya di laci lemari! Namun akhirnya majikan TKI berusia 22 tahun itu mengetahui hal tersebut.

Yanti melahirkan bayinya di toilet pada Kamis, 12 Februari lalu. "Hanya Tuhan yang tahu kesakitan yang saya alami saat itu. Setelah bayi lahir, saya cepat-cepat membersihkan dia dan menyembunyikannya di laci," tutur wanita muda itu seperti dilansir harian Malaysia, New Straits Times (NST), Selasa (17/2/2009).

Pada Minggu, 15 Februari lalu, majikan Yanti mendengar suara tangis bayi dari kamar tidur pembantunya itu. Sang majikan pun menemukan bayi itu dalam lemari.

Yanti bekerja untuk perwira wanita polisi senior di markas kepolisian Perlis. Ayah sang bayi yang juga berasal dari Indonesia telah pulang ke tempat asalnya di Jawa.

"Saya takut kakak akan memarahi saya karena saya hamil. Karena itulah saya melahirkan di toilet dan menyembunyikan bayi di laci lemari," ujar Yanti yang memanggil majikannya dengan sebutan 'kakak'.

Selama menyembunyikan bayinya, Yanti selalu memberikan air putih pada bayinya jika menangis. "Saya beruntung bayinya tidak rewel," tutur Yanti.

Bayi tersebut saat ini dirawat di rumah sakit. Kondisinya baik.


Sumber

Bayi TKI yang Lahir di Pesawat Alami Sesak Nafas

Medan (ANTARA News) - Bayi Siti Sumarni, tenaga kerja Indonesia yang melahirkan di pesawat Saudi Arabian rute Jeddah-Jakarta, Sabtu terpaksa diberikan alat bantuan pernapasan (Head Book) setelah Minggu pagi mengalami sesak nafas.

Rumiati, perawat di ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum (RSU) Pirngadi Medan tempat bayi itu dirawat, mengatakan, bayi Sumarni yang belum diberi nama itu menggunakan Head Book karena belum bisa menggunakan alat bantu pernapasan selang.

"Penggunaan Head Book dilakukan juga untuk menghindarkan kemungkinan pendarahan dari hidung kalau menggunakan alat selang," katanya.

Sementara itu, pemberian makanan untuk bayi perempuan yang lahir dengan berat badan 1,9 kilogram dan panjang 48 centimeter itu dilakukan melalui infus.

Pernafasan menggunakan alat bantu itu baru akan dicabut setelah bayi itu tidak sesak lagi, kata Rumianti.

Sementara itu, ibu bayi, Sumarni asal Jawa Timur tersebut terlihat masih dalam keadaan lemas di ruang V RSU Pirngadi Medan.

Dia menolak ketika ANTARA News mengajaknya berdialog tentang keadaannya dan menanyakan apakah suaminya juga TKI di Arab Saudi sudah mengetahui tentang kelahiran bayi pertamanya itu.

"Besok saja ya mas, saya masih lemas," katanya .

Petugas Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) Sumut, Siti Rolijah yang mendampingi Siti Sumarni di rumah sakit itu menyebutkan, Sumarni pulang untuk menghabiskan masa cuti setelah diizinkan majikannya di Arab Saudi, Ali Abdullah Muhammad.

Usia kandungan Sumarni sendiri masih berumur tujuh bulan sehingga dia tidak menduga akan melahirkan dalam pesawat.

"Kami masih akan terus mendampingi Sumarni hingga kondisinya stabil," katanya.

Pihak BP2TKI juga sedang menghubungi pihak keluarga Sumarni di Banyuwangi agar mereka mengetahui kondisi dan bisa melihat serta mendampingi Sumarni.

Warga Dusun Belekan RT 002/003 Desa Bajulmati Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur itu melahirkan bayi perempuan di atas Pesawat Saudi ketika berada di toilet sekitar pukul 09.45 Lokal Time.

Akibat kejadian itu, maskapai tersebut melakukan pendaratan darurat di Bandara Polonia dan setibanya di bandara, Sumarni dan bayinya langsung ditangani tim medis dan dibawa ke Rumah Sakit Boloni yang lokasinya tak jauh dari bandara.

Setelah mendapat perawatan di RS itu, Sumarni dan bayinya kemudian dirujuk ke rumah sakit Pirngadi Medan.(*)

Sumber

TKW Melahirkan di Toilet Pesawat SAA Mendarat Darurat Di Medan

Medan - Jika Tuhan sudah berkendak apa pun bisa terjadi dari titik kematian hingga sebuah keajaiban, hal ini pula yang terjadi pada Siti Sumarni (38) TKW yang selama ini bekerja di Arab Saudi harus membuat sebuah hal yang sangat luar biasa.Ketika hendak merajut mimpi untuk pulang ke kampung halamannya di Dusun Balekan, Desa Bajulmati RT002/003, Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur terjadi sebuah hal yang tak terduga terjadi.

Pesawat yang ditumpanginya, Saudi Arabia Airlines Boeing 747-200 harus mendarat darurat di Bandara Polonia-Medan akibatnya sebuah peristiwa yang sangat luar biasa.Siti Sumarni harus melahirkan sang buah hati dalam perjalanan via Singapura-Indonesia(Jakarta) sehingga membuat para kru SAA mendaratkan pesawat di Bandara Polonia-Medan.Sang buah hati diduga dilahirkan di toilet pesawat SAA yang dibantu oleh para kru pesawat SAA.

Untuk mendapatkan perawat secara intensif pihak SAA harus melakukan pendaratan darurat(emergency landing) dengan meminta izin terlebih dahulu,pesawat SAA mendarat pada pukul 09.45 wib dan saat itu juga tim Bandara Polonia Medan melakukan persiapan medis sehingga Siti Sumarni dilarikan ke RS.Prof.Boloni yang tidak jauh dari Bandara,namun karena kondisi Siti cukup kritis terutama kondisi bayi maka tim medis merujuk ke RS.Pirgadi Medan terutama status Siti sebagai TKW.

Setelah mendapatkan perawatan secara intensif sang bayi harus dirawat diruangan incubator hingga berita ini diturunkan kondisi Siti masih tampak lemah.Disatu sisi salah seorang petugas Bandara Jamal mengatakan bahwa saat itu pesawat SAA dengan nomor penerbangan 822 meminta izin untuk mendarat darurat di Bandara Polinia, dimana seharusnya pesawat harus melakukan transit di Singapura namun karena emergeny landing maka sebagai langkah untuk mencari Bandara terdekat pihak pilot SAA memilih Bandara Polinia, Medan. “Saat tim medis memasuki pesawat sesuai dengan laporan para kru SAA bahwa ada seorang penumpang yang akan melahirkan ternyata sang bayi telah lahir dan Siti sendiri melahirkan pada usia kandungan tujuh bulan,”ujarnya.

Untuk kasus ini sendiri menurut Jamal baru ini terjadi di Medan dan biasanya dalam usia kandungan tujuh bulan seorang penumpang boleh melakukan perjalanan.Perlu diketahui kedatangan Siti ke Indonesia dengan tujuan kampung halaman untuk mengambil cuti dan telah mendapat izin dari sang majikan di Arab Saudi.

Disatu sisi Petugas Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia(BP2TKI) Sumut Siti Rolijah mengatakan bahwa pihaknya terus mengupayakan kontak ke kampung halaman Siti di Bayuwangi.

Petugas Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) Sumut Siti Rolijah yang mendampingi Siti di RS Pirngadi Medan, menyatakan, TKI tersebut pulang karena mengambil cuti.Disatu sisi Kepala Seksi Perlindungan TKI, BP2TKI Sumut Sumadi mengatakan,bahawa pihaknya akan terus melakukan pendampingan dan memantau kondisi Siti Sumarni di rumah sakit.. .”Kita akan berupaya untuk terus menghubungi keluarga Siti di Bayuwangi dan sambil menunggu kondisinya pulih kita akan terus memantau perkembangannya dan untuk hal kami melakukan kerjasama dengan PT.Angkasa Pura dan untuk biaya sendiri akan ditanggung oleh pihak Saudi Arabia Ailines”ujarnya. Saat ini pihaknya akan terus mendampingi Siti Sumarni hingga kondisinya stabil. Siti Sumarni hingga kini masih dalam pengawasan tim medis di ruang 5 RS Pirngadi, sedangkan bayi perempuannya di ruang Perinatologi lantai empat rumah sakit tersebut.


Sumber

Tangis di Terminal 3

Nama anak itu Tulus Sucipto. Bulan Oktober 2003, umurnya genap satu tahun. Anak yang tampak ceria dan tak segan digendong siapa saja ini tumbuh sehat dan aktif. Orang-orang di lingkungannya mengatakan: “Kami mengasuhnya bersama-sama”. Anak komunitas ini, memiliki pengasuh tetap, yang menganggapnya sebagai anak angkat, walaupun tanpa legalitas surat adopsi.

Siapa menyangka Tulus yang tumbuh sehat ini memiliki latar-belakang kelam. Ia dilahirkan dari rahim seorang ibu Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang tergopoh-gopoh pulang dari Timur Tengah. Begitu pesawat mendarat di tanah air, ibu yang mengandungnya langsung menuju toilet Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta untuk melahirkannya. Pak Najib, seorang petugas Cargo di Bandara yang kebetulan berada di dekat toilet itu, membantu sebisanya. Setelah sedikit pulih dari persalinan darurat, perempuan itu pun meninggalkan anak yang dilahirkannya, dan membiarkan Pak Najib mengasuhnya. Jelas, anak itu dianggap membawa aib. Anak tak berdosa ini lahir dari ibu yang menderita karena pelecehan seksual, perkosaan, dan penganiayaan. Di toilet Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, setidaknya sudah dua TKW melahirkan di sana. Di perkampungan dekat Bandara Soekarno-Hatta, sudah belasan anak TKW yang diadopsi penduduk setempat--anak-anak terlantar yang sulit mendapatkan pengakuan dari ibu dan bapak biologisnya.

Inilah gambaran betapa berat taruhan yang harus diambil para Tenaga Kerja Indonesia (TKI), khususnya TKW yang mengais pekerjaan di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga. Data yang dihimpun Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI), di tahun 2002 tercatat begitu banyak masalah yang menimpa TKI, mulai dari penelantaran (2,478), penipuan (1,685), penyekapan (470), pelecehan seksual (31), pemerkosaan (27) dan bahkan kematian (177). Data Depnakertrans tahun 2002 memperlihatkan, dari 319,029 TKI yang pulang melewati Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, sedikitnya 37,508 (11.75%) mengaku mendapat berbagai masalah, dari penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, PHK sepihak, hingga gaji yg tidak dibayar. Demikian juga laporan Amnesty International tahun 2002 disebutkan, untuk Saudi Arabia saja, setidaknya 19,000 pembantu rumah tangga melarikan diri, yang salah satu sebabnya tindak kekerasan domestik (domestic violence). Kekerasan demi kekerasan nampaknya mewarnai bisnis tenaga kerja ini. Karena itu, di Bandara Juanda, Surabaya, peti mati pun berdatangan begitu seringnya, walau pun luput dari perhatian.

Pemerkosaan, pelecehan seksual, tindak kekerasan yang diterima TKW Indonesia, membawa trauma luar biasa. Di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta, arus pasen TKW bergantian keluar masuk untuk mendapatkan perawatan karena gangguan jiwa. Saat Nurcholish Madjid menjenguk, salah satu dari mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Suaranya parau, dan tatapannya wajah kosong.

Bandara megah bernama Soekarno-Hatta, menjadi saksi tragisnya derita anak bangsa. Derita ini tampaknya akan terus berlanjut. Di tahun 2003 ini, dari Januari hingga September, data Depnakertrans telah menunjukkan setidaknya 27, 308 TKI (12.14%) yang kembali melalui Terminal 3 mengiba karena ditimpa berbagai masalah. Luka di badan akibat pukulan, siram air panas atau pun cairan kimia, penipuan, perkosaan hingga gaji tak dibayar mewarnai pengaduan mereka. Mereka mengiba dan tanpa tanda-tanda ada pembelaan. Mereka disiksa di negari orang, dan tak jarang masih diperas di negeri sendiri.

Apa dosa negeri ini? Pertama, semua ini terjadi akibat gagalnya negara dalam menciptakan lapangan kerja, khususnya untuk golongan usia muda pada penduduk lapisan bawah. Masa krisis telah meningkatkan jumlah penduduk miskin. Angka pengangguran terbuka menggila, yang pada tahun 2002 diperkirakan mencapai 9.1 juta orang, dan pengaggur terselubung menjapai 33.7 juta (Pidato Presiden di Sidang Tahunan MPR 2003). Angka yang lebih besar bahkan ditunjukkan BAPPENAS. Untuk proyeksi tahun 2003 dan 2004, pengangguran terbuka mencapai 10.13 juta orang (9.85% dari angkatan kerja), dan untuk tahun 2004, 10.83 juta orang (10.32% dari angkatan kerja). Lonjakan angka pengangguran ini terlihat jelas jika di banding angka tahun 1996 semasa Orde Baru, yang hanya mencapai 4.3 juta (4.86% dari angkatan kerja). Carut marutnya situasi ketenagakerjaan ini bisa jadi merupakan masalah warisan yang diciptakan semasa Orde Baru. Namun, harusnya di era reformasi ini, pemerintah membanting tulang memfokuskan diri pada program penciptaan lapangan kerja, sambil secara tegas mengganyang inefisiensi dan praktek-praktek korupsi. Apa akibatnya bila hal ini gagal dilakukan? Tak pelak lagi, arus pencari kerja meledak, dan tuntutan untuk menjadi TKI, betapapun tinggi resiko yang harus dihadapi, akan tetap tinggi.

Kedua, meledaknya tuntutan pencari kerja ini mengalami komplikasi akibat gagalnya negara meningkatkan akses dan kualitas pendidikan untuk rakyat. Dalam World Education Forum di Dakar-Senegal, tahun 2000, Indonesia masuk dalam negara yang disebut gagal menjalankan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Akhir-akhir ini, nampaknya situasi semakin buruk terlihat dari banyaknya gedung-gedung sekolah yang roboh, atau terbakar karena konflik-konflik sosial. Itu pun di sana-sini dijumpai korupsi yang parah di dunia pendidikan. Akibat semua ini, tenaga kerja yang kini masuk dalam bursa angkatan kerja adalah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah, yang hanya mampu menempati pekerjaan sebagai buruh kasar, seperti pembantu rumah tangga.

Sialnya, dalam situasi seperti ini, nasib para pekerja menjadi semakin tidak beruntung karena negara juga gagal memberikan perlindungan terhadap mereka. Coba lihat, para TKI sejak awal pemberangkatan, hingga penempatan dan pemulangan, hingga kini masih terus menjadi bulan-bulanan sasaran penipuan, eksploitasi, dan penyiksaan. Agar republik ini tidak menjadi republik biadab, mudah-mudahan, DPR dan Pemerintah segera mengesahkan UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Dalam masa jeda, tak salah bila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) berlakukan untuk memberikan payung hukum bagi langkah-langkah darurat yang harus secepatnya dilakukan. Minimal, langkah darurat itu meliputi menyelamatan TKI yang saat ini banyak terkatung-katung di luar negeri, baik tersekap di rumah maupun penjara, hingga korban-korban penipuan dan kekerasan yang melewati Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta

Hari ini kita semua bertanya. Siapa lagi politisi yang mampu menyaksikan kebiadaban berjalan luar biasa. Setiap hari tak henti dipersembahkan untuk bangsa terhormat bernama Indonesia.


Sumber

Karena Tabu Membicarakan Seksualitas

INI merupakan kasus lebih baru dari perempuan buruh migran asal Indonesia di Arab Saudi setelah kasus Kartini. Saat ini Imas binti Sugandi terancam pidana dengan tuduhan menelantarkan atau membuang anak. Ia masih ditahan, kasusnya tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.Imas binti Sugandi (27) adalah ibu dua anak, asal Cianjur, yang diperkosa sesama pekerja asal Nepal di Riyadh, Arab Saudi. Ia baru mulai bekerja pada bulan Maret 1999. Majikannya memintanya pulang pada akhir bulan Oktober 1999, karena sang majikan takut ketika tahu Imas hamil tanpa suami. Hukum di Saudi untuk kasus seperti ini sangat berat bagi perempuan.

Pada tanggal 1 November Imas bertolak ke Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia. Sekitar satu jam sebelum mendarat, ia merasa ingin buang air kecil. Saat di toilet pesawat itulah ia melahirkan bayi perempuan. Imas sangat kaget karena ia tidak merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Ia juga tidak mengalami pendarahan seperti lazimnya perempuan yang melahirkan.

Imas kemudian mengangkat bayi dari lubang toilet, dan dalam keadaan panik diambilnya tisu untuk membungkus bayi tersebut. Ia makin panik mendengar ketukan pintu toilet dari penumpang lain yang akan menggunakan toilet tersebut. Masih dalam keadaan panik, Imas kemudian memasukkan bayi yang dibungkus tisu ke dalam locker toilet dan membersihkan bercak-bercak darah, lalu kembali ke tempat duduknya. Ia masih sempat meminjam kain dari beberapa TKW yang duduk di dekatnya untuk membungkus bayinya, tetapi tidak ada yang memberikan, sementara pramugari mengumumkan pesawat segera mendarat.

Petugas kebersihan menemukan bayi perempuan dalam locker pesawat dan langsung menghubungi dokter Bandara. Bayi itu kemudian mendapat perawatan seperlunya, namun karena kondisi tubuhnya lemah, ia dibawa ke Rumah Sakit Asih Tangerang. Imas kemudian ditangkap di terminal khusus untuk TKI (terminal 3), setelah dokter menemukan tanda bahwa ia baru saja melahirkan. Imas dibawa ke RS Asih, kemudian menjadi tahanan Polsek khusus Cengkareng, dengan tuduhan melakukan perbuatan pidana, meninggalkan (membuang) bayi.

"Imas sebenarnya tidak ingin membuang anaknya," ujar Ny Farida Djoko, mahasiswa S-2 Kajian Wanita Universitas Indonesia yang sedang magang pada Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia- Solidaritas Perempuan (SP-LABMI) LSM yang menangani masalah ini bersama Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK). "Tetapi, ia panik dan takut karena bayi itu lahir di luar perkawinan, meskipun ia diperkosa."

***

IMAS adalah satu contoh lagi bagaimana perempuan harus menanggung sendiri akibat dari suatu perbuatan yang tidak ia kehendaki. Dalam masyarakat dengan budaya patriarkhal yang kental, perempuan yang hamil dan melahirkan di luar perkawinan resmi, dengan alasan apa pun, akan selalu disalahkan, dicerca, distigmatisasi, sementara ia sendiri terus didera rasa bersalah.

Kisah Imas juga melengkapi kisah-kisah lain yang tak kalah dramatis dari para perempuan buruh migran pekerja rumah tangga asal Indonesia di luar negeri, yang harus melahirkan bayi-bayi di luar perkawinan resmi, yang kemudian harus menanggung beban materi dan psikologis sendiri di kampung asalnya.

Namun, persoalan yang berkaitan dengan kesehatan perempuan, khususnya kesehatan reproduksi tak hanya terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki. Berbagai jenis penyakit seksual menular, termasuk HIV/AIDS merupakan bagian dari kesehatan reproduksi yang tidak banyak diketahui para pekerja migran. Padahal sebagian besar perempuan buruh migran tergolong dalam angkatan kerja berusia subur (20-39 tahun).

Gambaran ini sangat penting untuk memahami bahwa posisi fungsi reproduksi perempuan sangat strategis. Dalam soal biaya, angka-angka ini seharusnya mampu memotivasi semua pihak bahwa biaya reproduksi tidak kecil dan karenanya harus menjadi biaya sosial, beban bersama.

Ironisnya, dalam pelatihan sebelum diberangkatkan ke luar negeri, pengetahuan tentang reproduksi perempuan tidak termasuk dalam kurikulum pelatihan yang telah dibakukan Departemen Tenaga Kerja, kecuali pelatihan tentang kesehatan lingkungan.

Dengan pengetahuan yang serba terbatas mengenai kesehatan dirinya sendiri dan ketiadaan akses pada pelayanan kesehatan di negara penerima, para perempuan buruh migran itu harus menghadapi berbagai persoalan seorang diri. Kalau ia sampai hamil akibat diperkosa atau ditipu dan tak ada pilihan selain harus melahirkan bayinya, dalam jangka panjang hal itu akan menjadi beban sosial, baik bagi anak, bagi keluarga, maupun komunitas di tempat asalnya.

Berbeda dengan situasi di Filipina, di mana beberapa LSM seperti Batis Center for Women bekerja untuk mencari ayah biologis dari anak-anak berayah Jepang dari para ibu Filipina, yang sebelumnya bekerja sebagai penghibur (karena ditipu atau dipaksa) di Jepang, di Indonesia belum tampak ada upaya serupa. Juga berbeda dengan sikap Pemerintah Filipina yang mencari solusi persoalan ini secara politis, Pemerintah Indonesia tampak tidak mau tahu, karena mungkin menganggap hal ini sebagai aib.

***

RENDAHNYA pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tak hanya menjadi monopoli buruh migran asal Indonesia. Seperti dikatakan Aurora Javate de Dios dari Coalition Vs Trafficking of Women (Asia-Pacific) dalam diskusi mengenai Migrasi dan Kesehatan reproduksi di Bangkok, 22-23 Februari 2001, buruh migran dari mana pun berada pada situasi serupa.

"Perempuan menghadapi risiko besar karena pengetahuan mereka mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi relatif rendah," ujarnya. "Hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual tidak dibicarakan secara terbuka di antara perempuan dan negara pengirim tidak memberi perhatian dan informasi yang cukup tentang masalah ini dalam pelatihan sebelum diberangkatkan."

Menurut de Dios, kehamilan dan terinfeksi penyakit seksual menular termasuk HIV/AIDS sangat jauh dari bayangan para buruh migran ketika mereka berangkat. "Kebutuhan akan pelayanan kesehatan secara umum berada pada prioritas terendah karena pikiran mereka dipenuhi oleh bagaimana mendapatkan uang dan bisa mengirimkannya ke rumah," sambung de Dios, seraya melanjutkan, kecuali dinyatakan dalam kontrak kerja, jaminan kesehatan tidak secara umum diberikan kepada perempuan buruh migran.

"Pada umumnya buruh migran tidak mempunyai akses kepada pelayanan kesehatan di negara penerima. Itu belum termasuk hambatan kultural dan bahasa. Tidak adanya keluarga dan jaring dukungan sosial dalam masalah kesehatan membuat perempuan buruh migran semakin tidak berdaya di luar negeri," tambahnya.

Pada hampir semua negara penerima buruh migran pekerja rumah tangga seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Arab Saudi, majikan langsung menyimpan paspor dan visa kerja para pekerja rumah tangga dan mereka yang bekerja di bidang hiburan. Situasi ini menyebabkan mobilitas mereka terhambat, termasuk dalam situasi darurat menyangkut kesehatannya karena tidak adanya dokumen legal di tangan mereka.

Substitusi kontrak merupakan praktik tidak tertulis pada banyak negara penerima ketika buruh migran dibayar lebih kecil dari upah yang dijanjikan dalam kontrak. Situasi ini menyebabkan perempuan mengesampingkan kebutuhan mereka akan pelayanan kesehatan dan pengobatan hanya supaya bisa mengirim uang lebih banyak ke rumah.

Kebijakan pemerintah di beberapa negara, seperti Singapura, menuntut perempuan buruh migran melakukan tes kehamilan setiap enam bulan. "Peraturan ini terasa sangat rasis. Tidak ada ketentuan atau hukum yang jelas bagi pemerkosa. Sebaliknya, perempuan yang langsung dideportasi," tegas de Dios.

De Dios memaparkan, para pemilik bar di Jepang, acapkali memaksa buruh migran yang bekerja sebagai pelayan bar untuk melayani kebutuhan seksual para pelanggan. Mereka yang, karena "pekerjaan tambahan" itu menjadi hamil, tidak diberi bantuan, malah langsung dikeluarkan. Dalam sebuah studi yang dilakukan suatu organisasi migrasi internasional ditemukan 18 persen responden dipaksa melakukan hubungan seks tanpa kondom.

Selain itu, terjadi praktik-praktik yang dilakukan majikan bersama dengan agen-agen rekrutmen untuk memindahkan perempuan dari satu tempat ke tempat lain; sesuatu yang tidak dinyatakan tertulis di dalam kontrak kerja. Dalam proses perpindahan itu, perempuan kehilangan kontrol akan kondisi kerjanya dan secara total menjadi bergantung kepada majikan.

Posisi buruh migran, hambatan bahasa dan tidak adanya hukum perburuhan yang jelas, khususnya untuk buruh migran, menyebabkan para pekerja tidak bisa melakukan negosiasi untuk mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik. Situasinya bertambah buruk karena biasanya para pemilik bisnis hiburan melibatkan sindikat kriminal seperti Yakuza dalam bisnis mereka.

Di Timur Tengah, pekerja rumah tangga yang lari dari rumah tempatnya bekerja karena tidak tahan terhadap perlakuan kejam majikannya-termasuk upaya perkosaan-langsung dideportasi, tanpa melihat terlebih dulu duduk soalnya.

Menurut LSM Tenaganita dari Malaysia-LSM yang bekerja untuk buruh migran di Malaysia-sedikitnya 300 pekerja di Malaysia, sebagian besar adalah pekerja rumah tangga asal Filipina, dipenjara oleh berbagai sebab. Di tempat seperti itu pun kekerasan seksual mudah dilakukan, terbukti dengan kehamilan sejumlah perempuan.

Beberapa negara penerima lain seperti Malaysia dan Thailand, melakukan tes AIDS terhadap buruh migran tanpa meminta persetujuan terlebih dulu. Mereka yang diketahui positif HIV, langsung dideportasi tanpa bantuan apa pun. Dalam kasus perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan dan dijual ke rumah-rumah pelacuran, bantuan kemanusiaan sama sekali tidak ada.

Sekitar 2000 perempuan dan anak gadis asal Nepal yang dalam tes seperti itu diketahui terinfeksi HIV setelah dipaksa (dan ditipu) menjadi pekerja seks di sejumlah rumah bordil di India, langsung dideportasi, sementara Pemerintah Nepal menolak mengakui mereka sebagai warga negara.

***

HAL paling ironis dalam abad ini barangkali bisa dilihat dari peningkatan dramatik dari standar-standar hak asasi manusia, namun pada saat bersamaan praktik-praktik yang dilakukan, baik oleh negara maupun aktor lainnya, semakin menginjak kemanusiaan manusia.

Dalam isu-isu seperti ini tak ada satu pun hal yang bisa dipisahkan satu sama lain; seluruh sistem yang berpilin dalam kebudayaan, sistem dan ekonomi yang tidak memandang perempuan dan anak-anak sebagai manusia.

Program intervensi telah dicoba dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat, di tingkat regional dipimpin oleh Asian Migrant Center (AMC) dan Migrant Forum in Asia (MFA), di antaranya program reintegrasi dan kelompok penabung, mengorganisasi para keluarga migran di tingkat akar rumput, pelatihan untuk membangun kapasitas di tingkat akar rumput dan lain-lain, selain upaya yang terus-menerus untuk mendesak pemerintah menandatangani berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan buruh migran.

Selain itu juga telah terbentuk Regional Conference on Migration (RCM) yang akan berfungsi sebagai lembaga strategis untuk menganalisa berbagai isu migrasi di Asia, kecenderungannya dan memformulasikan strategi ke depan.

Namun, persoalan migrasi tak hanya menyangkut pergerakan manusia oleh sebab ekonomi semata. Saat ini terdapat sedikitnya tujuh hal yang menyebabkan terjadinya migrasi secara paksa, yakni konflik bersenjata, konflik etnik dan rasial, model globalisasi ekonomi pasar bebas, bencana alam dan kerusakan lingkungan, pembangunan yang menyebabkan terusirnya sejumlah penduduk dari tempat tinggal asal, penolakan terhadap demokrasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi.

Sayang, diskusi di Bangkok tidak mengupas lebih dalam masalah ini.


Sumber

Friday, February 13, 2009

Nirmala Bonat Dan Opini Publik

Apa yang saya harapkan dari kunjungan Presiden SBY ke Malaysia yang sedang berlangsung dalam kaitan dengan perbaikan nasib TKI di sana? Sangat banyak dan akan saya sampaikan pandangan mengenai akar permasalahan TKI kita di Malaysia. Saya tidak tahu ini kunjungan yang keberapa, tapi setidaknya pertemuan dengan Nirmala Bonat TKI yang mengalami penyiksaan dari majikannya mengirimkan pesan khusus kepada pemerintah Malaysia bahwa Indonesia serius dengan berbagai kasus yang menimpa TKI kita. Meminta pemerintah Malaysia memperhatikan nasib TKI adalah langkah bagus, tapi tanpa pembenahan keruwetan sejak proses rekrutmennya di tanah air seperti mendulang air terpercik muka sendiri.

Di bawah ini adalah beberapa hal yang sudah sejak dulu semestinya harus dibereskan oleh pemerintah apabila ingin menjadikan pahlawan devisa bukan hanya sebagai slogan semata. Poin2 ini berdasarkan hasil studi dan wawancara yang saya lakukan dari ujung Utara Malaysia di kota Penang, Selangor, Ipoh, Melaka, hingga Djohor di Selatan.

  1. Benahi sistem rekrutmen di kantong2 TKI. Hampir semua TKI dibodohi oleh para sponsor (orang2 yang mencari TKI dan mendapatkan fee) yang merupakan kepanjang tanganan PJTKI atau Pengerah Jasa Tenaga Kerja. Calon TKI dijanjikan upah tinggi, kerja enak, dan berbagai mimpi peningkatan kehidupan yang lebih layak dinegeri orang. Sponsor sudah menjalin kerjasama seperti layaknya mafia dengan aparat desa, sehingga dengan mudah mereka bisa mendapatkan kartu identitas walaupun masih di bawah umur. Dengan KTP aspal inilah yang nantinya akan dijadikan bekal untuk mendapatkan paspor. Tanpa dukungan sistem kependudukan yang masih jauh dari harapan, banyak pekerja migran yang bisa memperoleh KTP dan paspor walaupun masih di bawah umur. KTP dan paspor adalah dua tiket untuk mewujudkan impian lugu para TKI kita. Banyak diantara dari mereka yang terpaksa menggadaikan atau menjual tanah, rumah, kebun, dan sawah demi bisa menjadi TKI karena sponsor dan oknum PJTKI akan mematok tarif sesuai dengan negara tujuan. Untuk Malaysia, tarif berkisar antara 4 hingga 8 juta rupiah, suatu jumlah yang sangat besar untuk penduduk di desa yang miskin.
  2. Sertifikasikan PJTKI. Buat sistem sertifikasi untuk para PJTKI, bukan oleh pemerintah, tapi oleh lembaga independen yang kredibel seperti SGS / Sucofindo. Sistemnya begini, independent auditor akan melakukan audit terhadap setiap perusahaan PJTKI dari mulai sistem rekrutmen yang mereka lakukan, penampungan, hingga pemberangkatan. Semuanya harus transparan sebagaimana sebuah perusahaan ingin mendapatkan standard seperti ISO. Kalau mereka lulus, PJTKI akan diberikan semacam sertifikat yang hanya berlaku selama enam bulan sebelum diadakan audit lagi. Sertifikat ini akan dilampirkan saat proses rekrutmen hingga pemberangkatan dimana setiap airline tidak dapat menerbangkan TKI tanpa surat tersebut. Dengan sistem seperti ini diharapkan tidak sembarangan orang bisa mendirikan PJTKI karena semuanya harus melalui proses audit yang ketat.
  3. Tetapkan Biaya Berdasarkan Negara Tujuan Secara Terbuka. Selama ini biaya yang yang harus dibayarkan oleh TKI ditentukan secara sepihak oleh PJTKI, sama sekali tidak ada standard yang berlaku dan diketahui oleh masyarakat secara luas. Negara tetangga kita Filipina mempunyai suatu badan POEA (Phil Overseas Employment Agency) yang menentukan standard pembiayaan yang menjadi rujuan PJTKI, dan jangan coba2 melanggar karena mereka sangat tegas dalam memberikan sanksi kepada agen yang nakal.
  4. Buat lembaga lintas departemen. Belajarlah dari Filipina kalau masalah TKI karena negara ini sangat menghargai buruh migran mereka. Lembaga seperti POEA di atas sengaja untuk melakukan pembelaan terhadap nasib pekerja mereka di luar negeri. Selama ini, boro2 ada koordinasi, masing2 departemen berlomba-loba untuk berebut lahan pengurusan TKI danseringkali terlambat kalau tidak bisa dikatakan pasif saat TKI bermasalah.
  5. Jangan Mau Didikte Malaysia. Iya,karena kita punya kartu truf yang sangat kuat, TKI. Sejak jaman koeli kontrak, Malaysia selalu mempunyai hubungan khusus dengan TKI karena serumpun dalam masalah budaya dan bahasa. Buruh migran Indonesia merupakan mayoritas di Malaysia dan menjadi favorit para majikan di sana. Telah terbukti betapa terganggunya industri manufaktur dan perkebunan mereka pada saat terjadi pengusiran besar2an TKI ilegal. Apa yang kita harus perjuangkan ? Masalah penahan paspor, pembebasan pembayaran pajak (Levy) yang sangat memberatkan, keringanan pembayaran Employee Provident Fund (EPV) atau Jamsostek, pengaturan buruh non formal seperti pembantu rumah tangga, dan pemberian pendidikan bagi para anak TKI. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi itulah poin penting yang sering dilupakan oleh pemerintah kita.
  6. Kedubes Adalah Ujung Tombak. Saya pernah mencari data jumlah tenaga kerja kita di sebuah negara di ASEAN, dan jawaban yang saya peroleh adalah ketiadaan data yang akurat. Yang menyebalkan, mereka menjawabnya secara malas2an dan tanpa usaha sama sekali untuk mencarikan data penting bagi studi yang saya lakukan. Itu hanya satu contoh pribadi, tapi saya menginginkan sebuah perwakilan RI yang berwibawa dalam menelaah setiap kontrak kerja yang dibuat antara majikan dengan buruh di Malaysia. Sekali lagi FIlipina sebagai contoh, setiap kotrak pekerja migran harus di setujui dulu oleh kedubes setempat. Tanpa legalisir, perusahaan lokal tidak diperbolehkan merekrut pekerja mereka. Bagus kan?
  7. Benahi Bandara. Ini laksana gajah dipelupuk mata dan dianggap sebagai kuman. Eksploitasi buruh migran kita seolah selalu dibiarkan dan terjadi secara kasat mata di bandara kebanggaan kita. Para TKI yang lugu dan baru mendarat akan digiring laksana domba ke Terminal 3 ketempat mereka diperas dan ditipu oleh para oknum berseragam maupun para preman. Saya sering menghela nafas saat menyaksikan mereka mulai melakukan aksinya, seperti disuruh menukar valas dengan kurs yang jauh dari harga resmi, diperas di tengah jalan untuk dimintai ongkos yang tidak masuk akal, dan berbagai pungutan yang menyesakan dada. Kalau membereskan bandara saja tidak bisa, bagaimana mau memimpin bangsa ini?
  8. Perjanjian Bilateral Dengan Malaysia. Saya tidak tahu agenda apa yang dibicarakan oleh Presiden SBY dengan PM Abdullah Badawi dalam kaitan dengan TKI. Sekali lagi ini kesempatan dalam memuluskan butir2 perjanjian kerjasama yang lebih transparan antara kedua negara. Perjanjian ini tentu akan memuat butir2 hak dan kewajiban TKI beserta kedua negara yang hingga saat ini entah bagaimana nasibnya.

Masih banyak persoalan yang harus dibenahi terutama di tanah air. Percuma selalu menyalahkan Malaysia apabila kita tidak mau serius memberesi kisruh di rumah sendiri dulu. Sistem apapun boleh dibuat, tapi tanpa goodwill yang kuat akan muncul Nirmala lain di banyak negara dan saya hanya bisa ngenes akan kebodohan negara ini mengurus TKI.


Sumber

Nirmala Bonat Terbang ke Jakarta Selasa Malam

Kuala Lumpur (ANTARA News) - Nirmala Bonat Selasa malam (15/1) terbang ke Jakarta untuk selanjutnya pulang kampungnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) sambil menunggu panggilan atau keputusan pengadilan Kuala Lumpur, kata Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Kuala Lumpur Tatang B Razak.

"Malam ini terbang ke Jakarta. Besok siang, Rabu (16/1) akan bertamu ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebelum terbang ke Kupang," kata Tatang, di Kuala Lumpur, Selasa.

Pemulangan Nirmala merupakan realisasi dari janji presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menemuinya di sebuah hotel di Kuala Lumpur. Presiden langsung menemui Nirmala begitu masuk hotel dalam kunjungan kerja konsultasi tahunan dengan PM Malaysia Abdullah Badawi.

Nirmala telah menerima kembali paspornya setelah Hakim Akhtar Tahir menerima ke empat tuduhan jaksa Raja Rozela kepada majikan Nirmala, Yim Pek Ha, Kamis (3/1) atas dakwaan melakukan penyiksaan dengan cara menyeterika badan Nirmala, menyiram air panas, memukul dengan hanger dan gelas yang menyebabkan luka para serius.

Nirmala bekerja pada majikannya itu mulai September 2003 hingga Mei 2004. Namun pada suatu hari tahun 2004, petugas sekuriti di Kondomonium Villa Putra, Kuala Lumpur, tempat Yim Pek Ha tinggal, menemukan Nirmala sedang menangis dengan luka-luka parah.

Petugas sekuriti itu kemudian membawa Nirmala ke kantor polisi Dang Wangi yang akhirnya penyiksaan itu membuat gempar di Malaysia dan Indonesia serta dunia internasional. Nirmala dan kerajaan Malaysia menyeret Yim Pek Ha ke pengadilan Kuala Lumpur.

Walau telah menerima semua tuduhan jaksa dan menyatakan Nirmala telah terbukti disiksa majikannya, hakim Akhtar memberikan hak bagi tersangka untuk membela diri dan diperkirakan vonis hukuman akan ditetapkan pada Mei 2008.


Sumber

Nirmala Bonat ” Puas Dengan Putusan Pengadilan Malaysia”

Kupang ( Berita ) : Seorang TKW asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban penyiksaan oleh majikannya Nirmala Bonat mengatakan sangat puas dengan putusan pengadilan Malaysia yang menjatuhkan hukuman penjara 18 tahun kepada bekas majikannya, Yim Pek Ha (40) di Kuala Lumpur, Kamis (27/11).

“Saya puas mendengar putusan tersebut meski hanya 18 tahun dari tuntutan 68 tahun penjara. Perjuangan bertahun-tahun oleh KBRI di Kuala Lumpur dan para konsultan hukum akhirnya membuahkan hasil dengan menjatuhkan hukuman penjara kepada bekas majikan saya,” kata Nirmala Bonat melalui telepon genggamnya di Kupang, Jumat [28/11].

Ketika dihubungi, Nirmala Bonat, bekas TKW yang mengalami penyiksaan hebat dari majikannya dengan menyeterika tubuhnya serta disiram dengan air panas, sedang dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya PT Asuransi Bumi Putra Kupang menuju rumahnya.

“Hukuman penjara 18 tahun itu sudah cukup setimpal dengan perbuatan Yim Pek Ha kepada saya ketika menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia. Jika tidak ada tuntutan ganti rugi atas penyiksaan tersebut, mungkin hukumannya tetap 68 tahun penjara,” ujar Nirmala, wanita asal Timor Tengah Selatan (TTS) itu.

Pengadilan Malaysia di Kuala Lumpur, Kamis sore, menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara kepada majikan Nirmala Bonat, Yim Pek Ha (40), karena terbukti melakukan penyiksaan terhadap pembantu rumah tangga asal NTT itu dengan menggunakan setrika dan air panas.

Pengacara Yim Pek Ha, Akbardin Abdul Kader sebagaimana dilaporkan Wartawan Kuala Lumpur, mengatakan, hukuman yang dijatuhkan kepada kliennya terlalu berat, padahal kasusnya hanya penyiksaan.

“Kami akan mengajukan banding dan memohon tahanan luar jika proses naik banding berjalan,” katanya menambahkan.

Ketua Asosiasi Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) NTT, Abraham Paul Lianto yang setia menemani Nirmala Bonat selama proses hukum berlangsung mengatakan, apa yang diputuskan pengadilan Malaysia sudah cukup adil.

“Proses hukum perkara Nirmala Bonat memakan waktu sekitar 4,6 tahun. Sebuah perjalanan yang sangat melelahkan, tetapi akhirnya dapat membuahkan hasil meski majikan Nirmala Bonat hanya dijatuhi hukum penjara 18 tahun,” kata Lianto ketika dihubungi ANTARA secara terpisah.

“Saya sangat berterima kasih kepada KBRI di Kuala Lumpur dan para konsultan hukum Nirmala Bonat dalam memroses perkara ini. Kami sudah pesimis, kasus ini akan hilang karena suami Yim Pek Ha adalah seorang pengurus partai politik di negeri jiran itu,” ujarnya.

Menurut dia, hukuman yang dijatuhkan pengadilan Malaysia itu merupakan cambuk bagi para majikan di negara itu yang suka menyiksa para pembantu dari Indonesia.

Nirmala Bonat sudah sembuh dari sebuah derita yang panjang akibat penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya ketika menjadi pembantu rumah tangga di keluarganya Yap Pek Ha.


Sumber

Presiden Temui Nirmala Bonat


Jakarta, Kompas - Presiden didampingi Ny Ani Yudhoyono dan puluhan anggota rombongan berangkat menuju Kuala Lumpur, Malaysia, dengan pesawat kepresidenan dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (10/1). Setiba di Kuala Lumpur, Presiden pertama-tama menemui Nirmala Bonat.

Nirmala Bonat (23) adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang saat ini tengah menuntut keadilan di pengadilan Malaysia terkait penganiayaan yang dilakukan majikannya asal Malaysia tahun 2004. Penganiayaan yang diderita Nirmala antara lain disiram air panas, disetrika tubuhnya, dan dipukul dengan cawan besi.

"Sesampai di Kuala Lumpur, Presiden akan menemui Nirmala Bonat untuk bertanya kemajuan kasusnya. Tujuan Presiden SBY adalah minta perhatian serius Malaysia melindungi warga negara Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagaimana kita melindungi warga Malaysia di Indonesia," ujar juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng di Halim Perdanakusuma.

Untuk menemui Nirmala Bonat, Presiden memajukan rencana kunjungannya ke Malaysia satu hari. Rencana sebelumnya, Presiden akan berkunjung ke Malaysia selama dua hari, 11-12 Januari 2008.

Presiden dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi antara lain juga akan membicarakan masalah perbatasan, kebudayaan, perdagangan, dan perekonomian secara umum.

Karena sifat kunjungannya informal dan hanya ke Malaysia sebagai bagian dari >small 2small 0<, Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak ikut mengantar keberangkatan Presiden di Bandara Halim Perdanakusuma. "Dalam aturan kita, untuk kunjungan informal dan ke negara >small 2small 0<, Wapres tidak mengantar," ujar Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, usai mengantar Presiden.

Kunjungan balasan

Kunjungan ke Malaysia merupakan agenda tahun 2007 yang tidak bisa direalisasikan pada Desember 2007 karena Presiden sedang sibuk dengan agenda Konferensi tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali. Kunjungan ke Malaysia merupakan balasan atas kunjungan Badawi ke Bukittinggi, Sumatera Barat, 2006.

Menurut Andi, Presiden akan mengangkat permasalahan klaim Malaysia atas sejumlah hasil budaya Indonesia yang menjadi perhatian publik di Indonesia.

"Pak Lah (PM Badawi) sudah mengerti perhatian kita ke soal itu dan tugas Presiden menyampaikannya dengan bahasa yang baik," ujar Andi.

Sejumlah menteri yang mendampingi Presiden antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, dan Kepala Polri Jenderal Sutanto.


Sumber

Terdakwa Penganiaya Nirmala Bonat Tidak Hadiri Sidang

TEMPO Interaktif, Jakarta: Yim Pek Ha, terdakwa penganiaya seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia, Nirmala Bonat, tidak dapat hadir dalam persidangan pertama kasus tersebut yang berlangsung di Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur. "Dia (Yim Pek Ha) tidak dapat hadir karena sakit asma,” ujar Kepala Bidang Konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur Supeno Sahid saat dihubungi Tempo News Room melalui telepon genggamnya, Senin (26/7). Dia menambahkan, sejak Sabtu (24/7) Yim Pek Ha dirawat di ruang gawat darurat, Damansara Specialist Hospital.

Lebih lanjut Supeno mengungkapkan, agenda sidang pada hari ini adalah mendengarkan keterangan dari terdakwa. Karena terdakwa tidak hadir, kata dia, Hakim Akhtar bin Tahir, menunda persidangan sampai Selasa (27/7) pukul 09:00 waktu setempat. "Sidang hari ini hanya berlangsung selama kurang lebih 15 menit," kata dia.

Dia menerangkan, sidang hari ini dihadiri Jaksa Penuntut Umum Ahmad Baci, dua orang pengacara terdakwa, Jagjit Singh dan Manjit Singh, dan pengacara Nirmala, Wong Swee-Min. Selain itu, lanjut dia, hadir pula seorang wanita yang mengaku sepupu Nirmala dan tinggal di negara bagian Perak, Aminah Agus. "Tapi dia sudah berganti nama menjadi Premina Agus," jelas dia.

Setelah persidangan dibuka, Supeno menceritakan, pengacara terdakwa menyerahkan surat keterangan dari dokter Hong. Isi surat itu, kata dia, menyatakan bahwa terdakwa Yim Pek Ha tidak dapat hadir di persidangan karena penyakit asmanya kambuh dan diharuskan menginap di rumah sakit sampai sembuh.

Setelah melakukan pertimbangan selama kurang lebih lima menit, Hakim Akhtar bin Tahir memutuskan sdiang dilanjutkan esok hari. Dia mengatakan, hakim memutuskan agenda persidangan besok adalah Jaksa Baci harus menghadirkan dokter Hong.

Dengan alasan menderita penyakit tekanan darah tinggi, Yim Pek Ha sudah menjalani tahanan kota setelah dibebaskan dengan uang jaminan sebesar 85 ribu ringgit dari Penjara Wanita, Selangor, Senin (19/7). Yim Pek Ha didakwa melakukan penganiayaan terhadap Nirmala Bonat dengan menggunakan setrika panas, air mendidih, dan cawan yang terbuat dari besi. Dia diancam hukuman maksimal 80 tahun penjara.


Sumber

Keputusan Hakim atas Kasus Nirmala Bonat

Pada tanggal 3 Januari 2008, bertempat di Mahkamah Sesyen Kuala Lumpur, Hakim Akhtar Tahir telah memutuskan bahwa Yim Pek Ha, mantan majikan sekaligus tertuduh penganiayaan atas Pembantu Rumah Tangga asal Indonesia, Nirmala Bonat dinyatakan bersalah.
Proses hukum selanjutnya memasuki tahap mendengarkan keterangan dari saksi yang akan dihadirkan pihak Terdakwa. Hakim memberi waktu selama 3 (tiga) bulan kepada pembela Terdakwa untuk menghadirkan saksi dan pada bulan Mei 2008, Hakim akan menjatuhkan putusan akhir terhadap kasus ini.

Hakim menyatakan bahwa kecederaan Nirmala seperti yang dibuktikan dalam foto-foto yang diambil pada tanggal 17 Mei 2004 merupakan tindakan yang disengaja Terdakwa. Hal ini ditambah dengan konsistensi pernyataan Nirmala bahwa satu-satunya pelaku adalah terdakwa. Hakim berpandangan bahwa ini merupakan fakta yang ‘tidak dapat dipertikaikan’.

Berdasarkan Seksyen 320 Kanun Keseksaan, Terdakwa Yim Pek Ha terancam dikenai hukuman penjara maksimal 20 tahun, denda atau cambuk jika terbukti bersalah.

Kedutaan Besar menyambut baik keputusan Mahkamah Sesyen sebagai keputusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat serta siap untuk menghadapi proses hukum selanjutnya. Diharapkan putusan akhir dapat segera dijatuhkan secara adil dan menghukum Terdakwa. Dengan demikian, efek jera terhadap para majikan yang melakukan penganiayaan terhadap Pembantu Rumah Tangga, khususnya dari Indonesia yang sering terjadi di Malaysia akan berdampak luas, sehingga kasus-kasus serupa tidak terulang di masa yang akan datang. (Sumber: KBRI Kuala Lumpur)


Sumber

Tragedi Nirmala Bonat

Kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat hanya puncak
gunung es dari problem yang dihadapi tenaga kerja
Indonesia di luar negeri. Dan meski penganiayaan itu
melibatkan unsur kriminal majikannya di Malaysia,
problem utama sebenarnya terletak pada Pemerintah
Indonesia—-khususnya Departemen Tenaga Kerja dan
Departemen Luar Negeri. Kinerja Pemerintah Indonesia
dalam melindungi warga negaranya yang berkeja di luar
negeri masih terlalu minimal.

Kasus Nirmala mendominasi pemberitaan media baik di
Malaysia maupun Indonesia akhir pekan ini. Koran di
Malaysia sendiri menyebut ini sebagai salah satu kasus
paling brutal yang menimpa tenaga kerja asal
Indonesia.

Kasus ini menarik mengingat peristiwanya terungkap
hanya dua pekan setelah Menteri Tenaga Kerja Indonesia
Jacob Nuwa Wea menandatangani nota kesepahaman dengan
rekannya dari Malaysia, Datuk Wira Fong Chan Oan,
tentang penempatan tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
Nota kesepahaman itu dianggap sebagai “landmark”, atau
sebuah perjanjian penting, yang meliputi perlindungan
lebih baik terhadap tenaga kerja kita.

Kita berharap nota kesepahaman itu bisa memberi
keadilan kepada Nirmala, dan mencegah peristiwa serupa
berulang. Namun, upaya jauh lebih besar nampaknya
harus dilakukan pemerintah dari sekedar membuat
perjanjian bilateral dan menuntut negeri lain
melindungi tenga kerja kita. Tanggungjawab utama
perlindungan tenaga kerja terletak pada pemerintah
kita sendiri—-eksekutif maupun legislatif. Beberapa
kasus belakangan ini menunjukkan pemerintah belum
berbuat serius.

Pengakuan Nirmala menunjukkan bahwa layanan yang
paling dasar pun sebenarnya belum dipenuhi. Nirmala
mengaku telah memperoleh pengakuan buruk sejak
beberapa bulan lalu, namun “tidak tahu kemana harus
mengadu”. Ini artinya dia, dan juga banyak tenaga
kerja lain, tidak dibekali pengetahuan dasar yang
memadai tentang hak-haknya sebelum berangkat.

Jangankan pengetahuan dasar. Kasus lain menunjukkan
bahwa instansi yang paling berwenang, yakni Direktorat
Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
Indonesia, Departemen Luar Negeri, tidak punya pusat
informasi dengan data akurat tentang tenaga kerja ini.
Keterlambatan selama berbulan-bulan pengiriman dua
jenasah tenaga kerja Indonesia yang meninggal di
Yordania adalah buktinya.

Lapangan kerja di luar negeri jelas membantu
Pemerintah Indonesia yang kini dihadapkan pada
tinggginya tingkat pengangguran di dalam negeri.
Tenaga kerja yang keluar juga menjadi sumber devisa
lewat pajak yang disedot dari keringat mereka. Meski
mereka umumnya pekerja rendahan, menjadi pembantu
rumah tangga misalnya, mereka sebenarnya layak disebut
pahlawan. Tapi, perlakukan pemerintah kita terhadap
mereka masih sangat buruk.

Tidak hanya pemerintah dari sayap eksekutif yang harus
bekerja keras. Para anggota dewan pun mesti lebih
peduli. Para wakil rakyat itu mesti segera menuntaskan
pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri. Selama ini,
pengaturan pengaturan penempatan mereka hanya
didasarkan pada Keputusan Menteri atau perjanjian
bilateral setingkat menteri belaka.

Sumber

Nirmala Bonat Kecewa Pengadilan Malaysia


Nirmala Bonat
(Ist)

INILAH.COM, Kupang - Nirmala Bonat (24), TKI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mendapat penyiksaan di Malaysia beberapa tahun lalu, menyatakan kecewa dengan kebijakan Pengadilan Malaysia yang mengizinkan tahanan luar terhadap bekas majikannya Yim Pek Ha (40) dari penjara negara itu.

"Saya sangat puas ketika mendengar kabar bahwa pengadilan Malaysia sudah menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara kepada Yim Pek Ha tetapi setelah itu merasa sangat kecewa karena mengabulkan izin tahanan luar atas bekas majikannya itu. Ini sama halnya dengan tidak dipenjara karena sudah memberi uang jaminan," kata Nirmal di Kupang, Senin (1/12).

Yim Pek Ha divonis hukuman penjara 18 tahun oleh pengadilan Malaysia pada Kamis (27/11) lalu karena terbukti menyeterika tubuh Nirmala Bonat serta menyiramnya dengan air panas ketika bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Namun, hakim Akhtar Tahir yang menjatuhkan vonis penjara terhadap Yim Pek Ha menyetujui tahanan luar setelah keluarga terhukum memberikan uang jaminan 200.000 ringgit atau sekitar Rp 660 juta, dan mengeluarkan Yim Pek Hak dari penjara wanita Kajang.

Hakim Akhtar Tahir, menurut Kantor Berita Bernama, akhirnya menyetujui tahanan luar tersebut karena pengacara terhukum juga mengajukan banding ke Mahkamah Rayuan atau semacam Pengadilan Tinggi di Indonesia.

Menurut UU Malaysia, seorang terpidana punya hak untuk mengajukan banding ke Mahkamah Rayuan hingga ke Mahkamah Agung.

Nirmala Bonat mengatakan, setelah mendengar kabar bahwa bekas majikannya mendapat izin tahanan luar dari pengadilan Malaysia, ia langsung mengirim pesan singkat (SMS) ke pihak KBRI di Kuala Lumpur untuk meminta ganti rugi material atas penyiksaan yang dialaminya.

"Saya sudah kirim SMS ke pak Teguh dan pak Tatan di KBRI Kuala Lumpur, namun belum juga ada jawaban sampai sekarang soal ganti rugi material dimaksud," kataa wanita kelahiran Desa Tuapakas, Timor Tengah Selatan (TTS) pada 27 Agustus 1984.

Menurut dia, ganti rugi material atas dirinya dari majikan tersebut harus di atas 200.000 ringgit karena bisa diizinkan untuk tahanan luar setelah memberi uang jaminan sebesar 200.000 ringgit.

"Soal ganti rugi material memang belum kami bicarakan dengan pihak KBRI dan para konsultan hukum, tetapi yang pantasnya harus di atas angka 200.000 ringgit," kata anak pertama dari dua bersaudara pasangan Daniel Bonat dan Martha Toni itu.

Wakil Dubes RI untuk Malaysia Tatang B Razak mengatakan, KBRI akan berjuang terus agar rasa keadilan yang sudah diterima Nirmala Bonat tetap terus digenggam.

"Para konsultan hukum Nirmala Bonat akan mengajukan gugatan ganti rugi atas penyiksaan itu ke Pengadilan Perdata di Kuala Lumpur," katanya.


Sumber

TKW True Love


Satu lagi film yang mengangkat tema Tenaga Kerja Wanita dari Indonesia.Selama ini, tak banyak film yang mengangkat soal kehidupan TKW. Kali ini sebuah film bertajuk TKW TRUE LOVE diluncurkan yang mengisahkan tentang lika-liku kehidupan TKW. Film baru ini mendapuk Kinaryosih sebagai tokoh utamanya. Pemotongan tumpeng untuk launching film ini dilakukan oleh menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Eman Soeparno, di Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (04/11).

Film yang naskahnya ditulis Joel Bahar dan Menteri Daerah Tertinggal, Ir. H.M Lukman Edy, Msi ini merupakan hasil kerjasama Joel Bahar Vitrya Music dan Film Industry dengan Departemen Tenaga Kerja dan transmigrasi serta Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Film ini akan mengambil lokasi syuting di daerah Pantura, Hong Kong dan di beberapa negara Timur Tengah. Proses pembuatan film ini sedianya bakal mulai syuting pada akhir November ini dan sesuai jadwal bakal ditayangkan Maret 2009 nanti.


Di film ini Kinaryoshi berperan sebagai Lasty, seorang TKW dari daerah terpencil di Pacitan, Jawa Timur. Lasty pergi menjadi TKW ke Hong Kong semata-mata karena ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya. Di dalam perjalanannya Lasty jatuh cinta kepada Ricky sukarelawan dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang bertugas memberikan penyuluhan kepada buruh migran. Film ini menyuguhkan lika-liku kehidupan Lasty sebagai seorang TKW dan kisah cintanya bersama Ricky.

Thursday, February 12, 2009

Purwanti, Kisah Sedih Seorang TKW

Purwanti, Ini bukanlah judul sinetron semacam Intan, Wulan, Mawar, Candy, Soleha, Aisya, Entong ataupun Eneng. Purwanti adalah nama seorang wanita dari Lampung, cantik iya, tapi sungguh ironis kehidupannya.

Dimulai ketika saya bertandang ke rumah salah seorang teman saya, Mas Deddy di daerah Kebagusan Ragunan. Mas Deddy memperlihatkan foto-foto ketika dia ke Hongkong, dalam rangka menjenguk, mengadvokasi, dan membantu para TKW yang sedang “bermasalah”.

Kemudian saya terpaku dengan sosok perempuan muda, cantik, putih dan berjilbab.

Ini siapa, Mas?” tanya saya

Oh itu, Namanya Purwanti, dari Lampung” Jawab Mas Deddy

Umurnya berapa” tanya saya lagi

Sekitar 25an lah, emang kenapa, San? Cantik ya?” Mas Deddy balik nanya

Iya…”

Mas Deddy-pun bercerita….

Diceritakan Purwanti adalah salah seorang TKW dari Indonesia yang bekerja di Hongkong. Purwanti kalau bekerja di majikannya lepas jilbab, majikan dia melarang Purwanti mengenakan jilbab, ironisnya Purwanti sholat di kamar mandi (atau tempat tak layak lain, itupun selagi ada kesempatan) majikan Purwanti sangat sangat melarang Purwanti untuk sholat. Tapi ketika dia keluar rumah untuk bertemu dengan teman-teman TKW lain, Purwanti mengenakan jilbab.

Terakhir aku ketemu dia, dia lagi ada masalah dengan tuannya lhoo…” Tambah Mas Deddy, ”Selain itu dia juga sering membantu BMI (bahasa lain TKW di Hongkong) lain yang sedang bermasalah

Itulah gambaran kecil tentang TKW di luar sana, mungkin ini bukanlah cerita baru, tapi kali ini saya baru dengar dari teman saya sendiri.

Apalagi beberapa hari kemarin, ketika saya di Angkot D.01 (Bayoran – Ciputat) saya mendengar dari mantan TKW sendiri, sebut saja Winda. Winda 15 bulan di Malaysia, 3 Bulan bekerja, 12 bulan dia berusaha melarikan diri dari majikan dan kembali ke Indonesia. Saya diperlihatkan bekas lukanya di lengan kanannya, goresan merah yang masih nampak jelas jahitannya. Winda dianiaya majikannya karena dia memakai sarung tangan ketika mengiris daging babi. Majikannya marah dan menggores tangan Winda dengan pisau.

Itulah salah dua dari contoh TKW-TKW. Saya kemudian membayangkan tidak hanya Winda dan Purwanti yang mengalamai kejadian itu, bahkan lebih parah. Bagaimana tanggapan Pemerintah tentang TKW ini? Sudah bukan hal yang baru ketika TKW pulang kembali ke Indonesia karena dianiaya majikan, bahkan pulang ke Indonesia tinggal dikubur aja, Astaghfirullah….

TKW Palsukan Umur

MELAPOR : Laelathul Mukaromah melaporkan penganiayaan dirinya ke Poltabes. Foto Jumadi/Pontianak Post Pontianak,- Kisah duka menambah rentetan catatan kelam para Tenaga Kerja Indonesia di negeri Jiran. Bocah belasan tahun, asal Jawa Barat, memalsukan usianya untuk bekerja sebagai buruh migran. Alasan klasik, memperbaiki kehidupan dan membantu meringankan beban orangtua kembali terdengar. Untung tak dapat diraih, buntung tangan didapat.

Catatan Aseanty W Pahlevi, Pontianak

LAELATHUL Mukaromah kini hanya bisa merenungi nasibnya. Saat ditemui, dia hanya banyak diam. Matanya sesaat kosong, dan lebih kerap menekuri lantai. Dia lebih sibuk membuat goresan maya di lantai Poltabes Pontianak, ketimbang memperhatikan beberapa pewarta dan polisi dihadapannya.

Dari bibirnya, bocah yang mengaku baru berusia 14 tahun tersebut, terungkap kedatangannya ke Brunai Darussalam sebagai TKW, berkat bantuan seorang agen. Lantaran usianya yang tidak sesuai paspor, masuknya Laela terindikasi illegal.

Dia menggunakan visa kunjungan untuk sampai ke Brunai Darussalam. Sang agen, yang saat ini tengah dicari keberadaannya oleh pihak kepolisian, Laela dijanjikan gaji sebesar $200 Brunai setiap bulannya. Tergiur bayaran yang besar, Laela pun menyanggupi.

Laela pun bekerja sebagai pembantu di salah satu keluarga di sana. Walau berat, Laela yang terbiasa dengan pekerjaan kasar di rumah, kini dihadapkan dengan seperangkat alat elektronik. Berat dirasa, namun keletihan dan sakit hati akibat perlakuan majikan, kerap terpupus jika ingat kampung halaman. Laela pun menguatkan hati.

Hingga suatu ketika. Medio Maret 2007, Laela disuruh sang majikan untuk memotong rumput, pukul 11.00 waktu setempat. Karena banyak kerjaan, Laela baru memotong beberapa saat kemudian.

Ternyata hal ini mengundang murka sang majikan. Tak puas hanya mengomeli Laela, sang majikan membabi buta mengambil gunting pemotong rumput. “Majikan marah dan memotong jari tengah saya dengan gunting pemotong rumput,” kenang korban dengan muka tertunduk.

Tak ayal, Laela menjerit-jerit kesakitan. Si majikan tampaknya tak juga terbit belas ibanya. Laela malah dibiarkan mengerang seraya memegang jari yang telah berlumuran darah.

Beruntunglah saat itu, tetangga sang majikan bersedia membawanya ke rumah sakit. “Jari saya itu dimasukan ke dalam botol oleh rumah sakit Brunai, tapi lupa saya bawa,” timpal korban, ketika ditanya apakah ada upaya penyambungan jarinya tersebut.

Laela pun memutuskan berhenti. Malang tak hanya sampai disini merundungnya. Upah letihnya selama delapan bulan bekerja, juga tak dibayarkan. Ketika mau pulang, Laela hanya diberi ongkos ke Pontianak.

Kasat Reskrim Poltabes Pontianak, Kompol Sekar Maulana, mengatakan pihaknya telah bekerjasama dengan Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak Daerah Kalbar. “Jika memungkinkan, kita akan membawa kasus ini hingga ke Brunai, agar korban mendapatkan keadilan,” tambahnya.**< Kisah duka menambah rentetan catatan kelam para Tenaga Kerja Indonesia di negeri Jiran. Bocah belasan tahun, asal Jawa Barat, memalsukan usianya untuk bekerja sebagai buruh migran. Alasan klasik, memperbaiki kehidupan dan membantu meringankan beban orangtua kembali terdengar. Untung tak dapat diraih, buntung tangan didapat.

Catatan Aseanty W Pahlevi, Pontianak

LAELATHUL Mukaromah kini hanya bisa merenungi nasibnya. Saat ditemui, dia hanya banyak diam. Matanya sesaat kosong, dan lebih kerap menekuri lantai. Dia lebih sibuk membuat goresan maya di lantai Poltabes Pontianak, ketimbang memperhatikan beberapa pewarta dan polisi dihadapannya.

Dari bibirnya, bocah yang mengaku baru berusia 14 tahun tersebut, terungkap kedatangannya ke Brunai Darussalam sebagai TKW, berkat bantuan seorang agen. Lantaran usianya yang tidak sesuai paspor, masuknya Laela terindikasi illegal.

Dia menggunakan visa kunjungan untuk sampai ke Brunai Darussalam. Sang agen, yang saat ini tengah dicari keberadaannya oleh pihak kepolisian, Laela dijanjikan gaji sebesar $200 Brunai setiap bulannya. Tergiur bayaran yang besar, Laela pun menyanggupi.

Laela pun bekerja sebagai pembantu di salah satu keluarga di sana. Walau berat, Laela yang terbiasa dengan pekerjaan kasar di rumah, kini dihadapkan dengan seperangkat alat elektronik. Berat dirasa, namun keletihan dan sakit hati akibat perlakuan majikan, kerap terpupus jika ingat kampung halaman. Laela pun menguatkan hati.

Hingga suatu ketika. Medio Maret 2007, Laela disuruh sang majikan untuk memotong rumput, pukul 11.00 waktu setempat. Karena banyak kerjaan, Laela baru memotong beberapa saat kemudian.

Ternyata hal ini mengundang murka sang majikan. Tak puas hanya mengomeli Laela, sang majikan membabi buta mengambil gunting pemotong rumput. “Majikan marah dan memotong jari tengah saya dengan gunting pemotong rumput,” kenang korban dengan muka tertunduk.

Tak ayal, Laela menjerit-jerit kesakitan. Si majikan tampaknya tak juga terbit belas ibanya. Laela malah dibiarkan mengerang seraya memegang jari yang telah berlumuran darah.

Beruntunglah saat itu, tetangga sang majikan bersedia membawanya ke rumah sakit. “Jari saya itu dimasukan ke dalam botol oleh rumah sakit Brunai, tapi lupa saya bawa,” timpal korban, ketika ditanya apakah ada upaya penyambungan jarinya tersebut.

Laela pun memutuskan berhenti. Malang tak hanya sampai disini merundungnya. Upah letihnya selama delapan bulan bekerja, juga tak dibayarkan. Ketika mau pulang, Laela hanya diberi ongkos ke Pontianak.

Kasat Reskrim Poltabes Pontianak, Kompol Sekar Maulana, mengatakan pihaknya telah bekerjasama dengan Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak Daerah Kalbar. “Jika memungkinkan, kita akan membawa kasus ini hingga ke Brunai, agar korban mendapatkan keadilan,” tambahnya.



Sumber

TKW Hongkong Rhapsody

Dalam film yang diproduseri Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe, vokalis kelompok musik Letto itu, Lola selain dipercaya sebagai sutradara, ia sekaligus jadi tokoh utama. Lasti, tokoh wanita berusia 22 tahun yang diperankan Lola ini, berprofesi sebagai tenaga kerja wanita (TKW).

"Harus main. Padahal saya nggak mau main. Tapi entah lah kenapa, bisa tanya saja ke produser langsung, kenapa saya juga yang dipasang sebagai pemain. Entah apa sekalian honornya? Saya juga nggak ngerti," ujar Lola, tentang perannya film ini, Senin (27/10), di Jakarta.

Sebagai sutradara film ini, Lola mengaku telah melakukan berbagai riset sejak pertengahan 2008, termasuk mewawancarai TKW yang masih mengadu nasib di Hong Kong. "Riset kita di antaranya wawancara dengan beberapa TKW, baik itu legal, illegal, bahkan ada juga yang lesbian. Berbagai macam TKW dari beragam jenis problematika mereka," ujar Lola.

"Ada beberapa kisah nyata yang kita ambil, namun juga kita campur dengan beberapa kisah fiksi juga," tambah Lola, mengenai cerita film yang 80 persen bakal syuting di Hong Kong itu.

Sepengetahuannya, hingga kini, para sineas Indonesia belum pernah menggarap sebuah film yang mengambil kisah dari para pahlawan devisa tersebut. Kendati demikian, kata Lola, film ini tidak hanya menceritakan sisi buruk dari para TKW, maupun majikan mereka. "Yang pasti berimbang," tanggapnya singkat.

"Karena di Hong Kong sendiri banyak sekali yang bisa diangkat masalah-masalahnya (ke film ini). Tidak cuma kekerasan. Karena kekerasan sama sekali nol koma sekian persen di Hong Kong," katanya.

"Hong Kong itu, majikannya semua baik, gaji paling tinggi, dan ada liburnya. Dan para TKW di Hong Kong itu, paling pinter dibanding yang lain. Karena salah satu contoh persyaratan, pendidikan mereka minimal harus SMA. Mereka juga kalau libur ada yang les bahasa inggris atau les komputer atau belajar hal-hal yang lain," Lola, menjelaskan.

Lola mengaku harus mempersiapkan diri untuk memerankan seorang TKW. Setelah didandani, "katanya sih lebih TKW dari TKW. Pokoknya TKW banget lah, karena TKW di Hong Kong kan modis-modis. Jadi bajunya keren-keren. Gaya rambutnya pun keren-keren, jadi nggak kayak orang kampung lah," kata Lola sambil tertawa.

Film ini akan memulai syuting di Jakarta dan Hong Kong pada Januari 2009, dan rencananya akan rilis pada Agustus 2009. [EL]

Sumber

Luka di Champs Elysees


Judul novel: Luka di Champ,s Elysees
Penulis : Rosita Sihombing
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, Jakarta, 2008
Tebal : 190 halaman


PARIS. Menara Eiffel. Kota impian semua orang. Di negeri penuh gemerlapan ini ternyata tak selamanya indah. Terutama bagi tenaga kerja wanita asal Indonesia yang berteduh di sana. Bukankah TKW Indonesia disedot oleh negara Timur-Tengah, Malaysia, Korea, dan Hongkong? Memang ada TKW di Eropa? Novel perdana karya Rosita Sihombing akan menjawabnya.

Novel ini adalah kisah nyata seorang TKW asal Indonesia yang malang-melintang di Paris. Sikrit sapaan akrab Rosita tidaklah sulit menemui mereka. Selain jumlahnya banyak, mereka memiliki komunitas sendiri. Pada tanggal tertentu berkumpul di bawah Menara Eiffel, lambang kota Paris. Arisan, curhat, dan saling berbagi. Gaya dan dandanan mereka unik menyesuaikan dengan tren mode di kota Paris. Wow

Rosita membutuhkan waktu empat tahun menyelami kehidupan para TKW di negeri pusatnya mode dunia ini. Kehidupan TKW Indonesia penuh dengan haru-biru. Penyebab utamanya, keberadaan mereka ilegal. Mereka, sebenarnya TKW di Timur Tengah. Beruntung memiliki majikan kaya-raya membawa liburan pelesir ke Paris. Kesempatan itu dimanfaatkan para TKW melarikan diri. Mereka ingin terlepas dari penyiksaan, pemerkosaan, rodi, dan upah tak dibayar dari majikan. Selanjutnya berharap bisa menata hidup lebih baik. Tapi, kenyataannya semakin memprihatinkan. Terlunta-lunta di negara kaya-raya, nan ketat dengan aturan.

Novel Luka di Champ,s Elysees berkisah tentang Karimah --Muslimah Indonesia yang bekerja di Riyadh. Karimah sebagai baby sitter, mengasuh Nassar (4 tahun) dan Omar (11 bulan). Majikan pria pengusaha sukses sering ke luar kota dan luar negeri. Sedangkan majikan perempuan, parasnya cantik, tapi malas bekerja. Yang menyakitkan, dia sering main tangan hingga menimbulkan bekas. Kekasaran panggilan majikan perempuan- yang membekas di hati Kari.

Musim semi 2005, majikan pria, Alkahtani mengajak sekeluarga liburan ke Paris. Dari tiga tenaga kerja di rumahnya, Kari yang dipilih mendampingi majikan. Sejak masih di Riyadh, Kari sudah merencanakan kabur setiba di Paris. Dia berharap bisa bertemu teman sekampungnya yang lebih dulu kabur ke Negara Napoleon itu.

Tiba di Paris, Kari mulai ancang-ancang mencari waktu yang tepat. Momen yang tepat, saat kedua majikannya sibuk memilih mainan untuk Nassar, Omar terlelap di kereta bayi. Kari melepaskan kerudungnya, menyelinap di antara pembeli yang memadati toko pusat mainan. Berhasil.

Dia terus berlari melewati Jalan Champ,s Elysees, di kawasan favorit wisatawan. Berlari entah ke mana. Dia tersungkur, terguling-guling, darah menetes dari kaki kanannya. Kakinya sulit digerakkan. Minta tolong dengan siapa? Jangankan mengucapkan kata-kata, mendengar bahasanya saja sulit dimengerti. Pelarian terhenti di Stasiun Metro Charles de Gaulle Etoile. Kari pingsan hingga ditemukan Hamed. Selanjutnya, Hamed menjadi dewa penolong sekaligus teman hidup Kari. Dia warga negara Aljazair yang hidup ilegal pula di Paris. Kerjanya serabutan.

Inilah sisi nyata yang ingin digambarkan Rosita. Kehidupan TKW ilegal Indonesia memilih hidup bersama dengan pria-pria Magreb (warga keturunan Aljazair, Maroko, Tunisia), India, atau Pakistan. Namanya menumpang, mereka harus melayani apa pun keinginan teman hidup bersamanya. Tak jarang kekerasan fisik dan hinaan menghinggapi para TKW. Namanya pendatang ilegal, pekerjaan yang didapat pun ilegal. Menjadi cleaning service, pembantu, baby sitter, atau perempuan jalanan. Getir-getir kesedihan tak seindah gemerlap lampu-lampu di Menara Eiffel di malam hari.

Penderitaan bertambah ketika Kari mengandung hasil hubungan dengan Hamed. Malam dingin menusuk, bayi bergerak-gerak ingin segera keluar. Tanpa Hamed, Kari tertatih-tatih menelusuri jalan, naik metro menuju rumah sakit. Sakit perut dan kegundahaan terus melanda. Bagaimana jika bertemu polisi, menanyakan identitasnya? Di rumah sakit petugas administrasi pasti menanyakan pula identitas dirinya. Bagaimana jawabnya, nanti saja. Yang pasti si orok sudah berontak.

Lahirlah si cantik Maharani. Bayi mungil ini membawa kebahagiaan. Hamed datang ketika semuanya sudah beres. ''Ke mana saja kamu selama ini?!'' Hamed meminta maaf. Tapi, tak ada artinya. Pertengkaran kembali memuncak. Hamed tidak terima nama anaknya didaftarkan tanpa mencantumkan nama 'ayah'. Alasan Kari lebih karena emosi, kemana 'ayah'-nya saat dia bertaruh nyawa mengeluarkan bayi mungil dari rahim?

Jerit tangis Maharani tak meredakan keegoisan kedua orangtuanya. Hamed semakin emosi, mendorong Kari yang sedang menggendong Maharani. Ibu dan anaknya terjatuh tersungkur. Tangis Maharani terhenti, dan tak bergerak lagi. Bayi cantik itu meninggal.

Kesedihan masih terus bergelayut. Kari memutuskan berpisah dengan Hamed. Dia menumpang dengan sobatnya Enah yang tinggal bersama dengan pria asal India. Setiap Enah pergi, Kari ikut pergi. Dia tak mau ditinggal bersama pasangan Enah yang 'nakal'.

Titik kebahagiaan tiba ketika Kari bertemu Imel, WNI legal yang tinggal di Paris. Imel sebagai dewi penyelamat yang bisa mengembalikan kebahagiaan Karimah. Kari kembali berkerudung, berkumpul dengan suami aslinya, Pardi, dan anak semata wayangnya, Tari.

Selembar surat terselip di saku baju Kari. Dari Hamed, isinya ungkapan maaf dan pengakuan dirinya selama ini sudah memiliki istri dan anak di Aljazair. Ternyata Hamed lebih jujur dibandingkan Kari yang juga meninggalkan anak dan suami di Tanah Air.

Peluncuran novel Luka di Champ,s Elysees, Ahad (14 Desember 2008). Rosita sengaja terbang dari Paris menuju Jakarta. Menurut dia, di novel ini ia sengaja mematikan Maharani dan membuat Karimah berbahagia di akhri cerita. Walaupun kenyataan kata bahagia jauh dari harapan para TKW: Kehidupan ibu dan anak di Paris sama-sama menderita.

Novel yang dihiasi kata-kata Prancis ini cukup sederhana, namun menarik. Bahasanya mengalir, enak dibaca, dan penuh makna. Banyak pengetahuan berkenaan Paris yang diketahui dari novel ini. Pembaca pun bisa belajar kalimat-kalimat sederhana Prancis. Tergambarkan kalau Rosita sangat menguasai hingga detail lekuk-lekuk Paris. Nama-nama jalan, taman, rute-rute bus mencerminkan kalau penulis lama berkecimpung di Paris.

Rosita memang tinggal di Paris. Dia menetap di Paris, sejak menikah dengan suaminya Patrick Monlouis, asal Paris. Kini dikarunia seorang putra berusia 3,5 tahun. Bagi Rosita, Paris menjadi kota kedua, setelah Tanjungkarang, Lampung, kota kelahirannya. vie

Sumber: Republika, Minggu, 04 Januari 2009

Kisah Si Mbak TKI

Hummmh, hari gini kok ngelamun aja ya?? Padahal harusnya gw udah mulai sibuk do somethin new.. Tapi gw bersyukur sampai saat ini, gw masih bisa enjoy with my daily activities..Thanx God, gw udah punya ponakan yang lucu banget, jadinya di rumah ga sepi2 amat… ^.^

Ngomong-ngomong soal lowongan kerjaan, mengapa banyak bener yang harus experienced gituh…sekalinya yang nerima fresh graduate kebanyakan outsourcing.. Tapi gw masih bersyukur lagi, soalnya gw masih bisa kok nikmatin jadi job seeker ^.^ Alhasil buat ngisi waktu, gw ambil kelas English lagi de hueheu..masih blebetan iki aku mas mbak…you know I know What do I do miss u very much lah…ngerti ta artine??? Ok, kembali ke LAPTOP!(mas tukul hwebat!)

Oia, gw kemaren baru dapet info baru dari tetangga gw tentang modus kriminal baru yang dialamin sama TKI di Arab sana. Mungkin kalian udah banyak yang tau, gini nih katanya disana udah mulai banyak TKI yang jadi korban perampokan tingkat tinggi. Awalnya, si mbak TKI yang notabene background pendidikannya pas-pasan banget dikasih minum sama majikannya. Padahal di minuman itu udah dikasih obat, nah otomatis mbak TKI itu kan pusing-pusing gitu. Terus si Mbak TKI dibawa ke RS deh sama majikannya, dan setelah diperiksa sama dokter katanya si Mbak TKI itu kena penyakit cancer dan harus cepet-cepet dioperasi. Nah Mbak TKI yang liat tulisan CANCER itu bingung dan takut dong, akhirnya si majikan dengan baik hatinya menawarkan ke Mbak TKI untuk membantu membiayai semua prosesnya. Akhirnya Mbak TKI setuju! Kemudian teman-teman sebangsa dan setanah air, setelah sadar si Mbak TKI dikasih tau oleh seorang suster yang baik hati bahwa sebenarnya si Mbak TKI itu sehat wal’afiat dan operasi tadi adalah proses perampokan besar-besaran. Gimana nggak besar-besaran, lha wong ternyata ginjalnya si Mbak TKI itu diangkat trus diambil buat dijual sama majikannya tanpa ijin gitu. Dan alhasil si Mbak TKI terkapar tak berdaya serta tak berduit ketika kembali ke tanah air Indonesia. Si majikan nggak ngasih gaji, alesannya gajinya udah dipake buat biayain operasi si Mbak TKI itu. Betapa malang si Mbak TKI itu, berniat untuk menambah pemasukan keluarga justru menambah pengeluaran keluarga.

Miris rasanya hati gw denger kabar seperti itu, Indonesia oh Indonesia…. Tapi gw sendiri juga belom bisa berbuat sesuatu untuk Negeriku… lebih miris ternyata..


Sumber

ADA AIR MATA DI NEGERI JIRAN


TKI Meninggal Terbanyak di Malaysia
Sumber: www.myRMnews.com
Rabu, 02 Januari 2008, 08:32:03 WIB

Jakarta, myRMnews. Malaysia tercatat sebagai negara dengan kasus kematian tenaga kerja Indonesia (TKI) terbanyak pada 2007. LSM Migrant Care mencatat, 71 TKI meninggal di negeri jiran itu sepanjang tahun lalu. Artinya, 35 persen dari total 206 kasus kematian TKI di 27 negara yang ditempati terjadi di Malaysia.

Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, kasus kematian buruh migran di Malaysia jauh melebihi kasus di Taiwan (36 orang), Arab Saudi (31 orang), Korea Selatan (18 orang), Singapura (15 orang), Jordania (12 orang), dan beberapa negara lain, seperti Hongkong, Kuwait, Jepang, Brunei Darussalam, dan Mesir.

Penyebab utama kematian buruh migran adalah kecelakaan kerja (25 persen), sakit (24 persen), kematian misterius (24 persen), jatuh dari ketinggian (13 persen), kekerasan (11 persen), dan sisanya bunuh diri.

Malaysia juga tercatat sebagai negara yang paling banyak menerapkan hukuman mati bagi buruh migran Indonesia. Saat ini 297 WNI terancam hukuman mati di Malaysia. “Delapan di antaranya sudah dijatuhi vonis mati, tinggal menunggu eksekusi,” ungkap Anis saat dihubungi koran ini kemarin (Selasa, 1/1).

Jumlah WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia juga melebihi negara-negara penempatan TKI lain. Yakni, Arab Saudi (4 orang), Singapura (1 orang), dan Mesir (1 orang).

Maraknya kasus kematian buruh migran di Malaysia antara lain disebabkan keberadaan 1,6 juta TKI di negara tersebut. Selain itu, lemahnya perjanjian penempatan TKI membuat Malaysia tidak mengimplementasikan perlindungan HAM untuk TKI.

“Meski Malaysia anggota Dewan HAM PBB, pada 2007 sudah mengesahkan UU Antiperdagangan Manusia, dan saat ini membahas RUU Perlindungan Pekerja Asing, tidak ada bukti nyata bahwa Malaysia memberi proteksi terhadap buruh migran asal Indonesia,” terangnya.

Migrant Care menuding pemerintah Malaysia sengaja melanggengkan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap TKI. Itu terbukti dengan pembiaran kerajaan Malaysia terhadap stigmatisasi pekerja Indonesia yang dilazim disebut Indon.

“Asosiasi umum bagi Indon adalah uneducated (tak berpendidikan), low skilled labour (pekerja kasar), dan mau dibayar murah untuk mengerjakan pekerjaan berbahaya,” papar Anis. Selain kepada TKI, sebutan Indon disematkan pada buruh migran asal India, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh.

Kondisi berbeda dialami buruh migran Filipina. Mereka mendapat penghormatan karena lebih lancar berbahasa Inggris dan mendapat perlindungan ketat dalam MoU penempatan.

Dalam MoU, pemerintah Filipina menerapkan syarat lebih ketat bagi bidang pekerjaan yang boleh dilakukan buruh, jam kerja, hari libur dan cuti, besaran gaji, dan kriteria majikan yang boleh mempekerjakan mereka. jpnn

Sumber

Design by Free blogger template