Thursday, February 12, 2009

Luka di Champs Elysees


Judul novel: Luka di Champ,s Elysees
Penulis : Rosita Sihombing
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, Jakarta, 2008
Tebal : 190 halaman


PARIS. Menara Eiffel. Kota impian semua orang. Di negeri penuh gemerlapan ini ternyata tak selamanya indah. Terutama bagi tenaga kerja wanita asal Indonesia yang berteduh di sana. Bukankah TKW Indonesia disedot oleh negara Timur-Tengah, Malaysia, Korea, dan Hongkong? Memang ada TKW di Eropa? Novel perdana karya Rosita Sihombing akan menjawabnya.

Novel ini adalah kisah nyata seorang TKW asal Indonesia yang malang-melintang di Paris. Sikrit sapaan akrab Rosita tidaklah sulit menemui mereka. Selain jumlahnya banyak, mereka memiliki komunitas sendiri. Pada tanggal tertentu berkumpul di bawah Menara Eiffel, lambang kota Paris. Arisan, curhat, dan saling berbagi. Gaya dan dandanan mereka unik menyesuaikan dengan tren mode di kota Paris. Wow

Rosita membutuhkan waktu empat tahun menyelami kehidupan para TKW di negeri pusatnya mode dunia ini. Kehidupan TKW Indonesia penuh dengan haru-biru. Penyebab utamanya, keberadaan mereka ilegal. Mereka, sebenarnya TKW di Timur Tengah. Beruntung memiliki majikan kaya-raya membawa liburan pelesir ke Paris. Kesempatan itu dimanfaatkan para TKW melarikan diri. Mereka ingin terlepas dari penyiksaan, pemerkosaan, rodi, dan upah tak dibayar dari majikan. Selanjutnya berharap bisa menata hidup lebih baik. Tapi, kenyataannya semakin memprihatinkan. Terlunta-lunta di negara kaya-raya, nan ketat dengan aturan.

Novel Luka di Champ,s Elysees berkisah tentang Karimah --Muslimah Indonesia yang bekerja di Riyadh. Karimah sebagai baby sitter, mengasuh Nassar (4 tahun) dan Omar (11 bulan). Majikan pria pengusaha sukses sering ke luar kota dan luar negeri. Sedangkan majikan perempuan, parasnya cantik, tapi malas bekerja. Yang menyakitkan, dia sering main tangan hingga menimbulkan bekas. Kekasaran panggilan majikan perempuan- yang membekas di hati Kari.

Musim semi 2005, majikan pria, Alkahtani mengajak sekeluarga liburan ke Paris. Dari tiga tenaga kerja di rumahnya, Kari yang dipilih mendampingi majikan. Sejak masih di Riyadh, Kari sudah merencanakan kabur setiba di Paris. Dia berharap bisa bertemu teman sekampungnya yang lebih dulu kabur ke Negara Napoleon itu.

Tiba di Paris, Kari mulai ancang-ancang mencari waktu yang tepat. Momen yang tepat, saat kedua majikannya sibuk memilih mainan untuk Nassar, Omar terlelap di kereta bayi. Kari melepaskan kerudungnya, menyelinap di antara pembeli yang memadati toko pusat mainan. Berhasil.

Dia terus berlari melewati Jalan Champ,s Elysees, di kawasan favorit wisatawan. Berlari entah ke mana. Dia tersungkur, terguling-guling, darah menetes dari kaki kanannya. Kakinya sulit digerakkan. Minta tolong dengan siapa? Jangankan mengucapkan kata-kata, mendengar bahasanya saja sulit dimengerti. Pelarian terhenti di Stasiun Metro Charles de Gaulle Etoile. Kari pingsan hingga ditemukan Hamed. Selanjutnya, Hamed menjadi dewa penolong sekaligus teman hidup Kari. Dia warga negara Aljazair yang hidup ilegal pula di Paris. Kerjanya serabutan.

Inilah sisi nyata yang ingin digambarkan Rosita. Kehidupan TKW ilegal Indonesia memilih hidup bersama dengan pria-pria Magreb (warga keturunan Aljazair, Maroko, Tunisia), India, atau Pakistan. Namanya menumpang, mereka harus melayani apa pun keinginan teman hidup bersamanya. Tak jarang kekerasan fisik dan hinaan menghinggapi para TKW. Namanya pendatang ilegal, pekerjaan yang didapat pun ilegal. Menjadi cleaning service, pembantu, baby sitter, atau perempuan jalanan. Getir-getir kesedihan tak seindah gemerlap lampu-lampu di Menara Eiffel di malam hari.

Penderitaan bertambah ketika Kari mengandung hasil hubungan dengan Hamed. Malam dingin menusuk, bayi bergerak-gerak ingin segera keluar. Tanpa Hamed, Kari tertatih-tatih menelusuri jalan, naik metro menuju rumah sakit. Sakit perut dan kegundahaan terus melanda. Bagaimana jika bertemu polisi, menanyakan identitasnya? Di rumah sakit petugas administrasi pasti menanyakan pula identitas dirinya. Bagaimana jawabnya, nanti saja. Yang pasti si orok sudah berontak.

Lahirlah si cantik Maharani. Bayi mungil ini membawa kebahagiaan. Hamed datang ketika semuanya sudah beres. ''Ke mana saja kamu selama ini?!'' Hamed meminta maaf. Tapi, tak ada artinya. Pertengkaran kembali memuncak. Hamed tidak terima nama anaknya didaftarkan tanpa mencantumkan nama 'ayah'. Alasan Kari lebih karena emosi, kemana 'ayah'-nya saat dia bertaruh nyawa mengeluarkan bayi mungil dari rahim?

Jerit tangis Maharani tak meredakan keegoisan kedua orangtuanya. Hamed semakin emosi, mendorong Kari yang sedang menggendong Maharani. Ibu dan anaknya terjatuh tersungkur. Tangis Maharani terhenti, dan tak bergerak lagi. Bayi cantik itu meninggal.

Kesedihan masih terus bergelayut. Kari memutuskan berpisah dengan Hamed. Dia menumpang dengan sobatnya Enah yang tinggal bersama dengan pria asal India. Setiap Enah pergi, Kari ikut pergi. Dia tak mau ditinggal bersama pasangan Enah yang 'nakal'.

Titik kebahagiaan tiba ketika Kari bertemu Imel, WNI legal yang tinggal di Paris. Imel sebagai dewi penyelamat yang bisa mengembalikan kebahagiaan Karimah. Kari kembali berkerudung, berkumpul dengan suami aslinya, Pardi, dan anak semata wayangnya, Tari.

Selembar surat terselip di saku baju Kari. Dari Hamed, isinya ungkapan maaf dan pengakuan dirinya selama ini sudah memiliki istri dan anak di Aljazair. Ternyata Hamed lebih jujur dibandingkan Kari yang juga meninggalkan anak dan suami di Tanah Air.

Peluncuran novel Luka di Champ,s Elysees, Ahad (14 Desember 2008). Rosita sengaja terbang dari Paris menuju Jakarta. Menurut dia, di novel ini ia sengaja mematikan Maharani dan membuat Karimah berbahagia di akhri cerita. Walaupun kenyataan kata bahagia jauh dari harapan para TKW: Kehidupan ibu dan anak di Paris sama-sama menderita.

Novel yang dihiasi kata-kata Prancis ini cukup sederhana, namun menarik. Bahasanya mengalir, enak dibaca, dan penuh makna. Banyak pengetahuan berkenaan Paris yang diketahui dari novel ini. Pembaca pun bisa belajar kalimat-kalimat sederhana Prancis. Tergambarkan kalau Rosita sangat menguasai hingga detail lekuk-lekuk Paris. Nama-nama jalan, taman, rute-rute bus mencerminkan kalau penulis lama berkecimpung di Paris.

Rosita memang tinggal di Paris. Dia menetap di Paris, sejak menikah dengan suaminya Patrick Monlouis, asal Paris. Kini dikarunia seorang putra berusia 3,5 tahun. Bagi Rosita, Paris menjadi kota kedua, setelah Tanjungkarang, Lampung, kota kelahirannya. vie

Sumber: Republika, Minggu, 04 Januari 2009

0 comments:

Post a Comment

Design by Free blogger template