DUA MINGGU DALAM SEKAPAN
Sebuah kisah yang sangat mengharukan dari seorang TKI
By : Nera Andiyanti
Sebenarnya aku enggan mengulang menceritakan kisah penyiksaan yang pernah aku alami. Sudah terlalu sering orang memintaku untuk bercerita lagi peristiwa itu. Bukan hanya dari keluarga sendiri, tapi juga tetangga. Bahkan wartawan dari media cetakpun pernah meminta untuk runtut bercerita.
Kisah yang membuat ragaku babak belur dan membuat batinku terluka hingga saat ini. Bahkan aku sempat terserang trauma akan kejadian yang mungkin bisa terulang.
Kejadian itu bermula, ketika aku telah tiba di Hongkong. Di akhir tahun 2002. Negara yang kata banyak orang menjanjikan masa depan. Karena memang melihat kesuksesan tetanggaku yang mampu menopang ekonomi keluarga aku bulatkan tekad untuk mengikuti jejak mereka. Kebanyakan orang mengatakan kerja di Hongkong itu enak. Bisa dapat duit banyak dan pengalaman yang banyak pula. Bermodal tekat aku akhirnya berangkat ke sebuah PJTKI di Surabaya.
Setelah empat bulan di penampungan aku mendapat kabar visaku telah turun. Dengan hati yang penuh mimpi aku akhirnya berangkat ke Hongkong. Tak ada bayangan buruk yang mungkin akan kuhadapi. Aku bekerja pada sebuah keluarga yang bermukim di komlpek perumahan Tsing Yi Garden. Ketika aku tiba, keluarga yang beranggotakan lima orang bersikap biasa saja. Tuan, Nyonya, dua anak laki-laki dan satu orang wanita tua. Wanita tua itu dipanggil Bobo. Yang berarti ibu dari Nyonya.
Seminggu awal aku bekerja, penghuni rumah masih bersikap wajar padaku. Nyonya yang sering mengajariku bagaimana menggunakan alat-alat elektronik seperti vacuum cleaner, mesin cuci juga rice cooker. Sedang Bobo lebih sering mengajariku bagaimana memasak sayur ala china. Karena cara memasak sayur di Hongkong sama sekali beda dengan cara yang digunakan di Indonesia, terlebih bumbunya yang tak jauh dari jahe, bawang putih, garam dan arak putih. Aku juga mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan para majikanku. Karena bahasa Cantonese yang pernah aku pelajari semasa di penampungan, sama sekali beda logatnya dengan bahasa asli yang mereka gunakan. Kadang satu kata bisa untuk mewakili banyak maksud. Dan ternyata hanya intonasi yang membedakan.
Di minggu ke dua. Aku mulai merasakkan perubahan sikap majikanku. Terlebih Bobo dan nyonya. Kedua orang itu tak segan menampar atau menyiramku dengan air kalau apa yang kukerjaan dianggap salah. Bahkan kedua anak laki-lakinya pun tak jarang main tendang. Mereka berteriak-teriak seperti orang kesetanan ketika akan memulai aksinya. Walau tak paham maksudnya tapi aku tahu itu makian. Dan hatiku akan serasa terajam ketakutan kalau sudah demikian.
Hari-hari berikutnya yang aku dapatkan semakin menjadi. Dan inilah rentetan siksaan sadis itu mulai merajam jiwa ragaku. Bahkan aku jarang diberi jatah makan. Hanya ampas sop saja yang kadang diberikan sebagai menuku.
Pernah suatu ketika aku salah menyeterika kemeja kerja tuan. Entah mungkin setrika itu sedikit kepanasan sehingga mengakibatkan kemeja dari bahan sutra itu mengkilap di bagian leher. Begitu mengetahuinya, nyonya langsung marah bukan kepalang. Tanpa kuduga dia merebut setrika dari tanganku dan tanpa sempat aku mengelak dia tekan setrika panas itu di punggung tanganku. Aku merasakan panas yang tak terkira sampai perutku merasakan mulas dan sakit. Aku menjerit memohon ampun, tapi semakin aku menjerit nyonya semakin kuat menekan setrika. Akhirnya hanya kegelapan yang aku rasakan. Aku pingsan.
Begitu tersadar aku dapati diriku masih tergeletak di lantai di mana aku menyeterika sebelumnya. Meski dengan kondisi tangan melepuh, aku tetap harus bekerja seperti biasa. Hanya menyentuh makanan saja yang tak harus kukerjakan. Mencuci menggunakan tangan, membersihkan beberapa perabot rumah dengan obat-obatan anti kuman. Semua kukerjakan tanpa menggunakan sarung tangan. Sehingga bahan-bahan itu justru membuat lukaku makin parah. Kulit tanganku mengelupas dan melepuh menjijikkan. Tak ada belas kasihan dari mereka. Terlebih upaya untuk memberikan pertolongan atau pengobatan. Mereka benar-benar tak berperasaan.
Suatu malam ketika selesai mencuci piring. Aku nekat menaburkan garam ke atas lukaku. Tentunya dengan harapan luka itu cepat mengering. Tapi tiba-tiba Bobo telah berdiri di belakangku tanpa kutahu kapan datangnya. Dia merasa tak suka dengan apa yang aku lakukan. Seperti biasa aku akan di dampratnya habis-habisan. Aku sudah siapkan diri untuk menerima umpatanya. Tapi ternyata tak cukup di situ. Tiba- tiba dia menyambar telenan tebal dari kayu yang biasa dipakai untuk memotong ayam atau daging bertulang lainya. Tanpa kuduga bogem itu di layangkan ke keningku. Dan darah segar mengucur deras dari pelipis kananku. Aku merasakan seperti ada bongkahan batu besar menghantam kepalaku hingga apa yang kulihat berputar hebat. Dan…... lagi-lagi kegelapan yang aku rasa sebelum sempat aku seka darah segarku.
Hari sudah menjelang tengah malam ketika aku sadar dari pingsan yang ke dua kalinya selama dua minggu bekerja di rumah itu. Kali itu, aku dapati diriku tergeletak di lantai ruang tamu dengan beralaskan koran. Dengan kepala pening dan perut mual aku coba untuk bangun. Pandangan mataku masih buram berkunang kunang. Dan aku menangkap wajah-wajah yang memandangku sinis tengah duduk santai di atas sofa. Begitu aku berhasil duduk, segera suara Bobo menggelagar membuat jantungku berpacu seketika.
“Sei tak meia, faiti geisan coyea. Pan sai ye (sudah mati belum, cepat bangun. Dasar pura-pura saja)¨ Kata-kata kasar itu tak sekali aku dengar. Aku paksakan tubuhku yang tanpa daya untuk bangun. Segera aku ke dapur untuk mencari jatah makanku yang belum sempat kusentuh. Lagi-lagi sebuah suara menghardikku dari belakang. Kali itu suara nyonya.
Dia bilang aku tak usah makan malam itu. Karena jatahku telah dibuangnya. Malah dia menyuruhku minum air kran saja bila tak kuat menahan lapar. Seketika air mataku jatuh tanpa kupinta. Bukan aku menangisi karena tak diberi makan, tapi karena aku merasakan hatiku begitu pedih dan nelangsa. Aku tak terima atas apa yang mereka lakukan padaku.
Di rumah itu aku dianggap hina. Bahkan lebih hina dari pada binatang yang menjijikkan. Aku disekap tanpa diperbolehkan mengenal dunia luar. Jarang diberi makan. Dan tidur pun aku ditempatkan di gudang beralaskan Koran. Hanya selembar handuk yang kugunakan sebagai selimut. Waktu tidur pun di atas jam dua dini hari. Dan sudah harus bangun jam empat untuk mencuci baju. Hampir tiap malam aku tak bisa terpejam. Karena aku tak tahan dengan udara dingin. Untuk merebahkan tubuhku di lantai saja aku tak kuat. Karenanya aku hanya tidur sambil duduk. Itu pun tak bisa lama. Sebagai orang Indonesia yang tak pernah merasakan musim dingin, aku tak tahan dengan suhu 8derajad.
Tapi majikanku memang tak punya perasaan. Mereka membiarkan aku menderita. Bahkan dengan sengaja menambah penderitaanku. Malam hari setelah pelipisku bocor itu, aku menangis sepanjang malam. Aku benar-benar tak kuat lagi dengan kenyataan yang aku hadapi. Aku berdoa dan beristighfar tak henti-hentinya. Aku berharap esok hari ada keajaiban yang menolongku. Tapi siapakah manusia yang bisa membantuku?. Sedang keluar rumah pun aku tak diizinkan sama sekali. Kecuali untuk membuang sampah di depan pintu. Itu pun dengan pengawasan. Hanya dari Allah SWT saja aku berharap. Karena meski aku di sekap dan tak diizinkan sholat, tapi hatiku dan lidahku selalu menyebut-Nya. Aku sholat dalam hati meski ragaku pontang panting bekerja.
Pagi-pagi sekali seisi rumah gaduh. Aku tak menyangka ternyata pagi itu awal dari terkabulnya doaku. Anak laki-laki yang sulung demam dan muntah-muntah. Dari pagi jam lima anak remaja itu tak henti-hentinya memuntahkan cairan kuning dari perutnya. Akhirnya mereka sepakat untuk melarikan anaknya ke Yanchai Hospital yang letaknya tak jauh dari Tsing Yi. Tuan dan nyonya yang mengantar ke rumah sakit. Sedang nenek mengantarkan si bungsu ke sekolah. Suasana hati mereka terlihat resah dengan keadaan si sulung.
Ketika semua telah turun, aku coba periksa pintu. Apakah dikunci daril uar seperti biasa atau tidak. Karena sebelum keluar kulihat rona kepanikan di wajah nenek. Alhamdulillah..., Doaku benar-benar mendapat signal dari Allah. Pintu tidak terkunci! Segera aku berlari turun lewat tangga. Aku tak ingin menggunnakan lift dan harus menunggu lama. Aku tak mau buang-buang waktu. Dengan beberapa putaran, akhirnya aku telah meninggalkan lantai 4 flat tempatku dipekerjakan. Meski dengan perut kosong dari kemarin, tapi sebuah kekuatan menyeret semangat dan langkahku untuk segera mengambil tindakan.
Sampai di tempat securiti aku masih terengah. Nafasku hampir putus rasanya. Penjaga yang tengah bertugas sangat terkejut melihat kehadiranku yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Dengan mata bengkak menghitam, pelipis masih berdarah, dan tangan melepuh juga tubuhku yang kurus kering. Pasti semua orang akan menyamakan aku dengan monster. Serta merta penjaga itu memberiku segelas air minum. Setelah kutegak hingga kandas, dan sedikit mengatur nafas, kuceritakan hal yang terjadi padanya. Dengan bahasa inggris yang terbata akhirnya penjaga itu bisa memahami penjelasanku. Tanpa kuminta dia menyodorkan telphon dinding. Aku tahu harus bagaimana. Segera aku tekan 999.
Lima menit kemudian suara sirine mobil ambulan datang. Dan empat orang laki-laki berseragam polisi turun dengan sigap. Keempatnya menghambur padaku yang tengah berbincang dengan satpam blok itu. Setelah mendapat penjelasan dari satpam, dua polisi naik lewat lift. Aku tahu mereka pasti akan menseteril rumah majikanku. Sementara satu orang masuk ke mobil dan membawakan aku selembar selimut tebal.
Beberapa menit aku duduk sambil berbincang dengan kedua polisi juga satpam yang menolongku. Tak berapa lama pintu gerbang blok terbuka. Muncul wajah yang sangat kukenal. Wajah nenek. Dia nampak terkejut mendapati aku di dalam pengawalan polisi. Wajahnya pucat. Seketika keringat merembes dari keningnya. Mungkin dia sudah merasa bahwa itu adalah awal bencana bagi keluarganya. Dan benar saja. Itulah akhir dari penyiksaan atas diriku.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya aku sembuh dari luka-luka di tubuhku. Tanpa kuperjuangkanpun, polisi telah memproses kasusku. Karena kasus penganiayaan atas diriku itu memang telah terbukti dengan keadaan tubuhku yang babak belur. Walau tanpa aku tuntut, akhirnya di depan pengadilan majikanku mengakui semua kesalahan dan bersedia memberikan ganti rugi juga biaya perawatanku selama di rumah sakit. Dan di pengadilan itu pula, baru aku tahu bahwa tak sekali majikanku menganiaya pembantu rumah tangga. Akhirnya bobo dan nyonya di vonis hukuman penjara dengan beberapa keringanan. Aku lega.
Tapi bukan karena aku mendapat ganti rugi atau sakit hatiku terbalaskan. Lebih karena aku merasa mendapat keadilan. Meski aku menang tapi luka yang aku rasakan sangat sulit aku terima. Di dalam hatiku pun luka itu tak mungkin sembuh.
Sekembalinya ke tanah air, aku sempat trauma sebentar. Tapi begitu badanku pulih, semangat untuk berusaha itu membangkitkan gairahku lagi. Aku ingin ibuku bahagia!. Itu dan itu terus yang mendongkrak semangatku. Dan itu sanggup mengalahkan traumaku. Beberapa bulan di rumah aku putuskan untuk proses lagi kerja Hongkong. Berbekal pengalaman kemarin aku ingin memperbaiki kwalitas kerjaku. Aku sadar menguasai bahasa Cantonese adalah sarana vital agar aku mudah berinteraksi dengan orang Hongkong.
Singkat cerita. Dengan modal release letter baik dari imigrasi Hongkong, akhirnya aku bisa kembali lagi ke negara Jacky Chan. Aku mendapat majikan yang sangat baik. Dan ketika aku menuturkan kisahku kali ini, aku telah tiga tahun bekerja lagi. Aku bersyukur dapat menebus kekalahan nasibku dulu. Aku sangat yakin Allah telah menggariskan nasibku demikian. Karenanyalah aku tak putus asa. Dan aku sangat menikmati kesengsaraan yang kini telah menbawa kenikmatan bagiku. Aku yakin tak ada kesabaran yang sia-sia.
By : Nera Andiyanti
Sebenarnya aku enggan mengulang menceritakan kisah penyiksaan yang pernah aku alami. Sudah terlalu sering orang memintaku untuk bercerita lagi peristiwa itu. Bukan hanya dari keluarga sendiri, tapi juga tetangga. Bahkan wartawan dari media cetakpun pernah meminta untuk runtut bercerita.
Kisah yang membuat ragaku babak belur dan membuat batinku terluka hingga saat ini. Bahkan aku sempat terserang trauma akan kejadian yang mungkin bisa terulang.
Kejadian itu bermula, ketika aku telah tiba di Hongkong. Di akhir tahun 2002. Negara yang kata banyak orang menjanjikan masa depan. Karena memang melihat kesuksesan tetanggaku yang mampu menopang ekonomi keluarga aku bulatkan tekad untuk mengikuti jejak mereka. Kebanyakan orang mengatakan kerja di Hongkong itu enak. Bisa dapat duit banyak dan pengalaman yang banyak pula. Bermodal tekat aku akhirnya berangkat ke sebuah PJTKI di Surabaya.
Setelah empat bulan di penampungan aku mendapat kabar visaku telah turun. Dengan hati yang penuh mimpi aku akhirnya berangkat ke Hongkong. Tak ada bayangan buruk yang mungkin akan kuhadapi. Aku bekerja pada sebuah keluarga yang bermukim di komlpek perumahan Tsing Yi Garden. Ketika aku tiba, keluarga yang beranggotakan lima orang bersikap biasa saja. Tuan, Nyonya, dua anak laki-laki dan satu orang wanita tua. Wanita tua itu dipanggil Bobo. Yang berarti ibu dari Nyonya.
Seminggu awal aku bekerja, penghuni rumah masih bersikap wajar padaku. Nyonya yang sering mengajariku bagaimana menggunakan alat-alat elektronik seperti vacuum cleaner, mesin cuci juga rice cooker. Sedang Bobo lebih sering mengajariku bagaimana memasak sayur ala china. Karena cara memasak sayur di Hongkong sama sekali beda dengan cara yang digunakan di Indonesia, terlebih bumbunya yang tak jauh dari jahe, bawang putih, garam dan arak putih. Aku juga mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan para majikanku. Karena bahasa Cantonese yang pernah aku pelajari semasa di penampungan, sama sekali beda logatnya dengan bahasa asli yang mereka gunakan. Kadang satu kata bisa untuk mewakili banyak maksud. Dan ternyata hanya intonasi yang membedakan.
Di minggu ke dua. Aku mulai merasakkan perubahan sikap majikanku. Terlebih Bobo dan nyonya. Kedua orang itu tak segan menampar atau menyiramku dengan air kalau apa yang kukerjaan dianggap salah. Bahkan kedua anak laki-lakinya pun tak jarang main tendang. Mereka berteriak-teriak seperti orang kesetanan ketika akan memulai aksinya. Walau tak paham maksudnya tapi aku tahu itu makian. Dan hatiku akan serasa terajam ketakutan kalau sudah demikian.
Hari-hari berikutnya yang aku dapatkan semakin menjadi. Dan inilah rentetan siksaan sadis itu mulai merajam jiwa ragaku. Bahkan aku jarang diberi jatah makan. Hanya ampas sop saja yang kadang diberikan sebagai menuku.
Pernah suatu ketika aku salah menyeterika kemeja kerja tuan. Entah mungkin setrika itu sedikit kepanasan sehingga mengakibatkan kemeja dari bahan sutra itu mengkilap di bagian leher. Begitu mengetahuinya, nyonya langsung marah bukan kepalang. Tanpa kuduga dia merebut setrika dari tanganku dan tanpa sempat aku mengelak dia tekan setrika panas itu di punggung tanganku. Aku merasakan panas yang tak terkira sampai perutku merasakan mulas dan sakit. Aku menjerit memohon ampun, tapi semakin aku menjerit nyonya semakin kuat menekan setrika. Akhirnya hanya kegelapan yang aku rasakan. Aku pingsan.
Begitu tersadar aku dapati diriku masih tergeletak di lantai di mana aku menyeterika sebelumnya. Meski dengan kondisi tangan melepuh, aku tetap harus bekerja seperti biasa. Hanya menyentuh makanan saja yang tak harus kukerjakan. Mencuci menggunakan tangan, membersihkan beberapa perabot rumah dengan obat-obatan anti kuman. Semua kukerjakan tanpa menggunakan sarung tangan. Sehingga bahan-bahan itu justru membuat lukaku makin parah. Kulit tanganku mengelupas dan melepuh menjijikkan. Tak ada belas kasihan dari mereka. Terlebih upaya untuk memberikan pertolongan atau pengobatan. Mereka benar-benar tak berperasaan.
Suatu malam ketika selesai mencuci piring. Aku nekat menaburkan garam ke atas lukaku. Tentunya dengan harapan luka itu cepat mengering. Tapi tiba-tiba Bobo telah berdiri di belakangku tanpa kutahu kapan datangnya. Dia merasa tak suka dengan apa yang aku lakukan. Seperti biasa aku akan di dampratnya habis-habisan. Aku sudah siapkan diri untuk menerima umpatanya. Tapi ternyata tak cukup di situ. Tiba- tiba dia menyambar telenan tebal dari kayu yang biasa dipakai untuk memotong ayam atau daging bertulang lainya. Tanpa kuduga bogem itu di layangkan ke keningku. Dan darah segar mengucur deras dari pelipis kananku. Aku merasakan seperti ada bongkahan batu besar menghantam kepalaku hingga apa yang kulihat berputar hebat. Dan…... lagi-lagi kegelapan yang aku rasa sebelum sempat aku seka darah segarku.
Hari sudah menjelang tengah malam ketika aku sadar dari pingsan yang ke dua kalinya selama dua minggu bekerja di rumah itu. Kali itu, aku dapati diriku tergeletak di lantai ruang tamu dengan beralaskan koran. Dengan kepala pening dan perut mual aku coba untuk bangun. Pandangan mataku masih buram berkunang kunang. Dan aku menangkap wajah-wajah yang memandangku sinis tengah duduk santai di atas sofa. Begitu aku berhasil duduk, segera suara Bobo menggelagar membuat jantungku berpacu seketika.
“Sei tak meia, faiti geisan coyea. Pan sai ye (sudah mati belum, cepat bangun. Dasar pura-pura saja)¨ Kata-kata kasar itu tak sekali aku dengar. Aku paksakan tubuhku yang tanpa daya untuk bangun. Segera aku ke dapur untuk mencari jatah makanku yang belum sempat kusentuh. Lagi-lagi sebuah suara menghardikku dari belakang. Kali itu suara nyonya.
Dia bilang aku tak usah makan malam itu. Karena jatahku telah dibuangnya. Malah dia menyuruhku minum air kran saja bila tak kuat menahan lapar. Seketika air mataku jatuh tanpa kupinta. Bukan aku menangisi karena tak diberi makan, tapi karena aku merasakan hatiku begitu pedih dan nelangsa. Aku tak terima atas apa yang mereka lakukan padaku.
Di rumah itu aku dianggap hina. Bahkan lebih hina dari pada binatang yang menjijikkan. Aku disekap tanpa diperbolehkan mengenal dunia luar. Jarang diberi makan. Dan tidur pun aku ditempatkan di gudang beralaskan Koran. Hanya selembar handuk yang kugunakan sebagai selimut. Waktu tidur pun di atas jam dua dini hari. Dan sudah harus bangun jam empat untuk mencuci baju. Hampir tiap malam aku tak bisa terpejam. Karena aku tak tahan dengan udara dingin. Untuk merebahkan tubuhku di lantai saja aku tak kuat. Karenanya aku hanya tidur sambil duduk. Itu pun tak bisa lama. Sebagai orang Indonesia yang tak pernah merasakan musim dingin, aku tak tahan dengan suhu 8derajad.
Tapi majikanku memang tak punya perasaan. Mereka membiarkan aku menderita. Bahkan dengan sengaja menambah penderitaanku. Malam hari setelah pelipisku bocor itu, aku menangis sepanjang malam. Aku benar-benar tak kuat lagi dengan kenyataan yang aku hadapi. Aku berdoa dan beristighfar tak henti-hentinya. Aku berharap esok hari ada keajaiban yang menolongku. Tapi siapakah manusia yang bisa membantuku?. Sedang keluar rumah pun aku tak diizinkan sama sekali. Kecuali untuk membuang sampah di depan pintu. Itu pun dengan pengawasan. Hanya dari Allah SWT saja aku berharap. Karena meski aku di sekap dan tak diizinkan sholat, tapi hatiku dan lidahku selalu menyebut-Nya. Aku sholat dalam hati meski ragaku pontang panting bekerja.
Pagi-pagi sekali seisi rumah gaduh. Aku tak menyangka ternyata pagi itu awal dari terkabulnya doaku. Anak laki-laki yang sulung demam dan muntah-muntah. Dari pagi jam lima anak remaja itu tak henti-hentinya memuntahkan cairan kuning dari perutnya. Akhirnya mereka sepakat untuk melarikan anaknya ke Yanchai Hospital yang letaknya tak jauh dari Tsing Yi. Tuan dan nyonya yang mengantar ke rumah sakit. Sedang nenek mengantarkan si bungsu ke sekolah. Suasana hati mereka terlihat resah dengan keadaan si sulung.
Ketika semua telah turun, aku coba periksa pintu. Apakah dikunci daril uar seperti biasa atau tidak. Karena sebelum keluar kulihat rona kepanikan di wajah nenek. Alhamdulillah..., Doaku benar-benar mendapat signal dari Allah. Pintu tidak terkunci! Segera aku berlari turun lewat tangga. Aku tak ingin menggunnakan lift dan harus menunggu lama. Aku tak mau buang-buang waktu. Dengan beberapa putaran, akhirnya aku telah meninggalkan lantai 4 flat tempatku dipekerjakan. Meski dengan perut kosong dari kemarin, tapi sebuah kekuatan menyeret semangat dan langkahku untuk segera mengambil tindakan.
Sampai di tempat securiti aku masih terengah. Nafasku hampir putus rasanya. Penjaga yang tengah bertugas sangat terkejut melihat kehadiranku yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Dengan mata bengkak menghitam, pelipis masih berdarah, dan tangan melepuh juga tubuhku yang kurus kering. Pasti semua orang akan menyamakan aku dengan monster. Serta merta penjaga itu memberiku segelas air minum. Setelah kutegak hingga kandas, dan sedikit mengatur nafas, kuceritakan hal yang terjadi padanya. Dengan bahasa inggris yang terbata akhirnya penjaga itu bisa memahami penjelasanku. Tanpa kuminta dia menyodorkan telphon dinding. Aku tahu harus bagaimana. Segera aku tekan 999.
Lima menit kemudian suara sirine mobil ambulan datang. Dan empat orang laki-laki berseragam polisi turun dengan sigap. Keempatnya menghambur padaku yang tengah berbincang dengan satpam blok itu. Setelah mendapat penjelasan dari satpam, dua polisi naik lewat lift. Aku tahu mereka pasti akan menseteril rumah majikanku. Sementara satu orang masuk ke mobil dan membawakan aku selembar selimut tebal.
Beberapa menit aku duduk sambil berbincang dengan kedua polisi juga satpam yang menolongku. Tak berapa lama pintu gerbang blok terbuka. Muncul wajah yang sangat kukenal. Wajah nenek. Dia nampak terkejut mendapati aku di dalam pengawalan polisi. Wajahnya pucat. Seketika keringat merembes dari keningnya. Mungkin dia sudah merasa bahwa itu adalah awal bencana bagi keluarganya. Dan benar saja. Itulah akhir dari penyiksaan atas diriku.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya aku sembuh dari luka-luka di tubuhku. Tanpa kuperjuangkanpun, polisi telah memproses kasusku. Karena kasus penganiayaan atas diriku itu memang telah terbukti dengan keadaan tubuhku yang babak belur. Walau tanpa aku tuntut, akhirnya di depan pengadilan majikanku mengakui semua kesalahan dan bersedia memberikan ganti rugi juga biaya perawatanku selama di rumah sakit. Dan di pengadilan itu pula, baru aku tahu bahwa tak sekali majikanku menganiaya pembantu rumah tangga. Akhirnya bobo dan nyonya di vonis hukuman penjara dengan beberapa keringanan. Aku lega.
Tapi bukan karena aku mendapat ganti rugi atau sakit hatiku terbalaskan. Lebih karena aku merasa mendapat keadilan. Meski aku menang tapi luka yang aku rasakan sangat sulit aku terima. Di dalam hatiku pun luka itu tak mungkin sembuh.
Sekembalinya ke tanah air, aku sempat trauma sebentar. Tapi begitu badanku pulih, semangat untuk berusaha itu membangkitkan gairahku lagi. Aku ingin ibuku bahagia!. Itu dan itu terus yang mendongkrak semangatku. Dan itu sanggup mengalahkan traumaku. Beberapa bulan di rumah aku putuskan untuk proses lagi kerja Hongkong. Berbekal pengalaman kemarin aku ingin memperbaiki kwalitas kerjaku. Aku sadar menguasai bahasa Cantonese adalah sarana vital agar aku mudah berinteraksi dengan orang Hongkong.
Singkat cerita. Dengan modal release letter baik dari imigrasi Hongkong, akhirnya aku bisa kembali lagi ke negara Jacky Chan. Aku mendapat majikan yang sangat baik. Dan ketika aku menuturkan kisahku kali ini, aku telah tiga tahun bekerja lagi. Aku bersyukur dapat menebus kekalahan nasibku dulu. Aku sangat yakin Allah telah menggariskan nasibku demikian. Karenanyalah aku tak putus asa. Dan aku sangat menikmati kesengsaraan yang kini telah menbawa kenikmatan bagiku. Aku yakin tak ada kesabaran yang sia-sia.
0 comments:
Post a Comment