Monday, January 5, 2009

Kisah TKI Ilegal Saat Kembali ke Kampung Halaman

Laporan: Anita Anggrainy [Perbatasan Indonesia-Malaysia]

NASIB TKI ilegal di Malaysia memang memprihatinkan. Seibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tidak sedikit yang hidupnya menderita. setelah itu mereka diuber-uber dan sebagian atau malah semua pendapatannya diambil oleh petugas.

"SIAPA yang uangnya diambil Polis?" "Saya, Pak. Saya, Pak!" Beberapa orang TKI mengacungkan jari menjawab pertanyaan M Hasan Basri, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kabupaten Nunukan. Ada yang mengaku dihadang polis (polisi Kerajaan Malaysia, red) dan diambil uangnya 60 ringgit.

"Saya Pak, satu ratus ringgit uang saya diambil," ujar Dedy, TKI ilegal asal Jawa Barat. Yang dimaksud Deddy uangnya sebesar 100 Ringgit lenyap di tangan aparat Malaysia itu karena tak lengkap dokumen ketika akan pulang ke Indonesia melalui Tawau. 100 Ringgit sama dengan Rp230 ribu. Berdasarkan kurs mata uang, satu ringgit sama dengan Rp2400.

Dedy pun menjadi narasumber yang pelit kepada Fajar gara-gara uangnya dirampas polis Diraja Malaysia. "Lima ringgitlah kalau mau wawancara," katanya. Wajar saja, 5 ringgit atau setara Rp12 ribu, bagi Dedy sangat berarti. Sebab, saat itu
tak satu sen pun uang di kantonginya untuk pulang ke kampung di Jawa Barat. Deddy bukan satu-satunya yang naas. Ada ratusan TKI Ilegal yang menderita karena buruknya penanganan mereka meskipun akan pulang karena mengikuti amnesti (pengampunan) sejak tanggal 29 September hingga 14 November nanti.

Sebanyak 43 TKI asal perkebunan Sawit di Sandakan, punya cerita penderitaan yang berbeda. Mulai dari harus berjalan kaki selama tiga hari untuk tiba di Tawau dan menuju Nunukan, hingga pulang tak berbekal uang se-sen pun di kantong. M Ma'rifat, TKI asal Masamba, Kota Palopo Sulsel, bertutur tentang gajinya yang tak diterima selama sembilan bulan sejak dia bekerja di perkebunan sawit sejak 11 bulan.

"Saya tidak di gaji selama sembilan bulan karena harus membayar uang masuk saya dari kontrak," tutur Ma' rifat. Dia harus membayar 200 ringgit kepada kontrak (orang atau agen) yang membawa Ma' rifat ke perkebunan sawit itu. Semula dia dijanji akan mendapat upah sebesar 12 ringgit per hari. "Tapi, saya tak pernah melihat upah saya itu," ujarnya kepada Fajar.

Kesalahan Ma'rifat, dia datang dengan paspor lawatan, bukan dokumen resmi sebagai TKI legal dari PJTKI. Akibatnya Ma'rifat pun menderita. Sejumlah temannya mengalami hal yang sama. Paspor lawatan yang mereka gunakan dirampas oleh majikan dan tak pernah kembali. Kenyataan sedih ini dialami oleh Kasman. Karena tak paham dengan bahasa Inggris yang tertera di paspor, dia dibohongi majikan dan paspornya pun melayang. "Paspor saya ditahan. Saya tak paham bahasa Inggris di paspor
itu,"keluhnya.

Ternyata, paspor TKI ilegal ini kemudian hari digunakan oleh para majikannya bila ada lagi TKI ilegal lainnya yang masuk dan membutuhkan paspor. "Jadi, fotonya saja yang dicopot sedangkan namanya tetap mengikuti paspor yang dirampas itu," ujar
Soedirman, Deputi Menko Kesra RI yang ikut melepas 43 TKI yang dikembalikan ke kampung halamannya, Kamis, 4 November. Itu sebabnya, dalam salah satu MoU-nya pemerintah Indonesia meminta pemerintah Kerajaan Malaysia untuk mengembalikan semua paspor warga Indonesia yang dinyatakan hilang di Malaysia.

"Kami minta pemerintah Malaysia untuk mengembalikan paspor yang hilang ke KBRI agar tidak disalahgunakan," tandas Soedirman.

Menurut Soedirman, diperkirakan ada 160-180 ribu TKI yang akan menggunakan amnesti dari pemerintah Kerajaan Malaysia untuk mereka kembali ke Indonesia. Dari jumlah tersebut memang tidak semuanya ilegal. Namun, jelas tak sedikit yang bermasalah.
Soedirman sendiri berharap para TKI ini diterima dan diperlakukan dengan manusiawi ketika akan tiba di Nunukan. "Kalau memungkinkan mereka kembali ke Malaysia, mari kita bantu," ujarnya. Diakui Soedirman, selama ini Indonesia masih kesulitan untuk menyerap tenaga kerja di Indonesia sendiri. Tentu saja, kata dia, tak mungkin bagi pemerintah Indonesia untuk menahan warganya yang ingin bekerja di Malaysia.

Martinus Yenes, Ketua Komisi V DPRD Kaltim, mengatakan sesungguhnya Malaysia pun membutuhkan TKI ini untuk mengelola perkebunan mereka. "Bayangkan saja kalau kita menahan TKI untuk kembali, Malaysia bisa kolaps, karena tak ada yang menggarap perkebunan mereka, " tandasnya dalam pertemuan dengan satuan tugas TKI Kabupaten Nunukan. Namun, kata dia, cara ini tentu akan merusak hubungan bilateral kedua negara, Indonesia dan Malaysia.

Pemerintah Kaltim sendiri bukan tak menyadari kondisi ini. Di Kabupaten Nunukan, pemerintahnya membuat program untuk membuka Kebun Sejuta Hektar. Menurut Wakil Bupati Nunukan, pemerintahnya mengeluarkan kebijakan untuk membuka lahan
perkebunan sebesar 150 ribu hektar untuk bisa menampung tenaga kerja kita di daerah sendiri. Namun, saat ini pemerintah baru membuka 40 hektar. "Kami membuka lahan ini dengan tujuan agar bisa menyerap TKI, daripada mereka terlantar di negeri sendiri."

Pendapat senada pun dilontarkan oleh Sabar Sinaga, Wakil Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kaltim. Menurut Sinaga, sebenarnya pemerintah bisa menangani masalah TKI ini bila mau bekerja dengan ikhlas. "Tidak cukup dengan komitmen,
tetapi harus ada realisasi, " kata Sinaga kepada Fajar di Bandara Juata, Tarakan sesaat sebelum bertolak ke Nunukan, Kamis, 5 November.

Menurut Sinaga, lebih banyak TKI kita yang menderita di negeri orang. Mulai dari pemerasan yang dilakukan oleh agen hingga aparat polisi di Malaysia. Namun imbalan gaji hingga 600 ringgit, bila tak bermasalah, tak bisa dipungkiri membuat TKI berebutan mencari nafkah.***

Sumber: http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=1137

0 comments:

Post a Comment

Design by Free blogger template