Siang Mencari Nafkah, Malam Tidur di Hutan
malu
untuk pulang ke kampung halaman selalu mengganjal dalam hati.
Berkumpul bersama di tengah keluarga yang sudah lama menunggu
sepertinya
sangatlah bertentangan dengan tuntutan batin.
Pulang tanpa membawa hasil adalah persoalan utama yang harus dihadapi.
Oleh
karena itu, Ningsih, TKI asal sebuah desa di Semarang, Jawa Tengah,
sempat
membatalkan niatnya untuk pulang ke rumahnya. Harga dirinya membentang
lebar, kerinduan harus ditepis.
Namun Ningsih harus pulang sesuai dengan ketentuan Pemerintah Malaysia.
Tapi, dia sengaja tinggal di Medan karena dilanda rasa malu pada
keluarga
yang sangat mengharapkannya.
"Suka-duka selama berada di negeri tetangga itu sampai saat ini belum
terlupakan bagiku. Diperkosa majikan dan tidur di dalam hutan, bersama
pendatang gelap asal Indonesia sudah pernah kurasakan," cerita Ningsih
kepada Pembaruan di Medan, Sumatera Utara (Sumut), Senin (1/11) lalu.
Ningsih mengaku, mempunyai banyak harapan saat berangkat untuk bekerja
di
Negeri Ringgit itu, sekitar tiga tahun lalu. Berbekal doa dari keluarga
yang
dicintai, wanita beranak satu ini pun berangkat dengan niat mengubah
nasib
keluarga.
Namun, apa yang diharapkannya sama sekali bertolak belakang dengan yang
diimpikan. Ningsih diberangkatkan bersama TKI lain lewat tengah malam,
melalui sebuah kapal yang sudah dipersiapkan dari perairan di
Pekanbaru,
Riau.
Setibanya di sana, ia dibawa oleh orang yang sudah menunggunya. Wanita
yang
sudah ditinggal suami ini, ditempatkan di sebuah rumah yang lumayan
besar.
Di tempat itu ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga oleh orang yang
mengambilnya.
Awalnya ia merasa senang begitu langsung dipekerjakan. Namun, musibah
datang
beberapa bulan kemudian. "Saat rumah sepi, saya dipaksa sang majikan
untuk
melayaninya," Ningsih mengaku.
Sejak saat itu, dia dijadikan budak untuk melayani majikan bila
membutuhkannya. Hal itu terpaksa dilakukan Ningsih karena diancam akan
diserahkan kepada aparat. Saat itu aparat keamanan di Malaysia begitu
gencar
menyiksa para pendatang gelap bila berhasil ditangkap.
"Setahun lebih saya hidup di bawah tekanan. Gajiku tidak dibayar,
mereka
bilang sudah diambil oleh orang yang mengirimku dulu. Bantuan seorang
teman
yang juga pendatang gelap akhirnya membuatku berani pergi meninggalkan
tempat kerja," katanya.
Lepas dari belenggu kejahatan majikan, Ningsih kembali mendapatkan
musibah
baru. Keadaan yang terpaksa akhirnya membawanya berkumpul bersama
pendatang
gelap lain dan tidur bersama dalam hutan.
"Dulunya, aparat di Malaysia begitu gencar melakukan operasi mencari
para
pendatang gelap setiap malam hari. Oleh karena itu saya terpaksa tidur
dalam
hutan. Pagi harinya kami keluar mencari nafkah," sebut Ningsih lagi.
Pekerjaan yang dilakukan wanita ini kurang menjanjikan. Terkadang,
untuk
mengisi perut, ia harus bekerja seharian mencuci piring di sebuah rumah
makan. Imbalan dari bekerja tidaklah besar, tapi ia terpaksa melakukan
hal
itu.
Sekian lama "main kucing-kucingan" dengan aparat, Ningsih akhirnya
tertangkap juga. Ia akhirnya dikembalikan dan tiba melalui Pelabuhan
Belawan. Saat ini ia mencari lapangan pekerjaan, di Medan.
Lebih Memuaskan
Banyak cerita di balik kisah perjalanan para pendatang gelap saat
berada di
Malaysia. Bagi Dedi Setiadi, warga asal Tebing Tinggi, bekerja di
negeri
seberang belum tentu lebih memuaskan ketimbang di negeri sendiri.
"Bagi mereka yang didatangkan secara resmi saja belum tentu mendapatkan
perlakuan yang baik oleh majikan. Apalagi yang didatangkan secara
gelap.
Tapi tidak semua majikan berkelakuan buruk. Banyak juga yang TKI yang
berhasil," jelasnya.
Dedi sama dengan Ningsih. Baru-baru ini dia dibawa paksa oleh
Pemerintah
Malaysia untuk dipulangkan ke Indonesia. Ia pulang tanpa membawa hasil,
kini
harus menelan kepahitan dari pengalamannya saat bekerja di Malaysia.
"Pengalaman adalah guru yang terbaik. Meski tidak membawa hasil dari
perantauan di negeri orang, setidaknya pahit yang kutelan dapat
kujadikan
pelajaran. Lebih baik mencari lapangan pekerjaan di sini saja, atau
buka
usaha," Dedi merasa kapok.
Selama berada di Malaysia, Dedi, Ningsih, Suryadi, maupun David Sitorus
menjalani kehidupan yang sama. Mereka saling mengenal ketika
dipulangkan dan
tiba di Kota Medan.
"Kalau siang, kami bekerja sebagai buruh bangunan. Malam harinya
terpaksa
tidur dalam hutan. Hal ini tidak dapat dihindari akibat dari ulah
saudara-saudara kita sendiri, menipu dengan menjual diri warga
negaranya
sendiri demi keuntungan," kesal Suryadi.
Penderitaan selama berada di Negeri Ringgit itu cukuplah untuk
dirasakan.
Masyarakat lain diharapkan jangan mudah percaya atas bujukan
pihak-pihak
lain, membangga-banggakan penghasilan dari bekerja di Malaysia. "Bisa
saja
itu penipuan," imbau Dedi.
Imbalan dari bekerja di Malaysia, menurutnya, hasilnya tidak jauh
berbeda
dengan di daerah tempat tinggalnya, asal mau berusaha. Di Malaysia,
untuk
pendatang gelap gajinya kurang lebih dari 1.500 ringgit. Menurutnya,
imbalan
itu sudah lumayan dibandingkan bila tidak bekerja.
"Yang tidak dapat kulupakan saat terserang penyakit malaria akibat
tidur
dalam hutan. Begitulah risiko yang harus ditanggung. Beruntung ada
rekan
yang mau memberikan pertolongan, merawatku hingga bisa kembali ke
sini,"
sebut Dedi.
0 comments:
Post a Comment