Monday, January 5, 2009

Kisah Pilu Tak Berakhir

Oleh: Dian Auliya, Anggota AlPen Prosa Makassar, Alumnus UNM
(dimuat 27 Juni 2007 di Harian Tribun Timur, SulSel)

Memasuki minggu ketiga Juni 2007, pemberitaan media massa kembali diramaikan oleh berita tentang seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berupaya kabur.
TKI yang bernama Ceryati, asal Brebes, Jawa Tengah itu, nekat kabur dari apartemen majikannya yang berada di lantai 15. Dia turun meluncur dari Apartemen Tamarind Sentul, Kuala Lumpur,Malaysia melalui tali yang merupakan sambungan dari kain termasuk celana dalam dan BH, Minggu, 17 Juni 2007.
Ceryati kabur saat majikannya sedang tidak berada di rumah, dan berusaha meluncur dari lantai 15 sebuah apartemen tanpa memperhatikan keselamatannya.
Perbuatan sangat nekat itu dia lakukan karena sudah tidak tahan dengan perilaku kasar dan penganiayaan yang selama ini dia terima dari majikannya. Setelah TKI ini berhasil diselamatkan oleh petugas pemadam kebakaran Malaysia, baru diketahui ternyata pada beberapa bagian tubuhnya, terdapat banyak luka memar akibat pukulan majikannya, di antaranya pada pelupuk mata dan leher.

Bukan Baru
Sesungguhnya, kisah Ceryati bukanlah suatu hal yang baru dalam kisah duka para tenaga kerja (dulu disebut buruh migran) asal negeri ini.
Ceryati juga bukan satu-satunya korban. Ceryati hanya satu di antara puluhan atau bahkan ratusan kisah duka TKI yang mengalami penganiayaan di negeri tempat mereka bekerja.
Selama perjalanan tahun ini saja, Migran Care mencatat sebanyak 28 TKI di luar negeri telah mengalami kekerasan oleh majikan mereka.
Sebanyak 61 TKI dilaporkan telah meninggal dunia. Warga Malaysia dan Arab Saudi, tempat mereka kerja, merupakan yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap TKI.
Rata-rata para korban kekerasan mengalami luka-luka memar maupun luka sayatan oleh majikannya. Sementara beberapa TKI yang meninggal juga disebabkan karena sakit dan mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari majikan. Lebih dari 60 persen TKI yang mendapatkan kekerasan dan meninggal adalah tenaga kerja perempuan (metrotvnews.com).
Kisah penganiayaan ala majikan Ceryati, pelecehan seksual, dan berbagai bentuk penganiayaan lain terus juga membayangi nasib para TKI di luar negeri.
Bahkan mereka juga dihantui oleh beban kerja yang over time, ada juga sebagian namun gaji mereka terkadang tak dibayar oleh majikannya.
Perlakuan seperti ini di antaranya dialami oleh Siti Zubaidah, TKI dari Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Siti bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Taiwan, namun kemudian dipulangkan setelah dikabarkan mengalami kecelakaan di tempat kerja (jatuh dari lantai tujuh apartemen tempatnya kerja).
Belakangan diketahui kalau Siti dipaksa bekerja selama 15 jam per hari untuk membersihkan ruangan di 11 rumah milik majikan dan kerabatnya (metrotvnews.com).
Ceryati dan Siti juga tidak sendiri. Karena di ’seantero’ negara yang menjadi tujuan pengiriman TKI, ada banyak kasus serupa yang menimpa mereka. Dari Malaysia hingga Timur Tengah, Hongkong, Taiwan, bahkan Amerika pun, mempunyai sejarah kelam bagi para TKI.
Masih banyak di antara TKI yang mengalami nasib yang sama dengan Ceryati dan Siti tetapi mereka tidak melaporkan dan tidak terungkap di media.

Problem Klasik
Munculnya fenomena berbondong-bondongnya tenaga kerja asal Indonesia untuk pergi menjemput rezki ke luar negeri, tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi di dalam negeri.
Kemiskinan yang terstruktur dan semakin mencekik leher masyarakat di negeri ini telah pasti membuat hidup semakin susah. Sementara akibat kemiskian itu, otomatis tidak ada jaminan untuk hidup sejahtera bagi masyarakat.
Kondisi itu ditambah lagi dengan sempitnya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah hingga menyebabkan jumlah pengangguran kian ‘bertumpuk’ dari masa ke masa. Kalau pun ada lapangan kerja, upahnya juga sangat murah dan tak sesuai harapan.
Itulah beberapa faktor yang telah memicu banyak orang berhijrah ke negara lain untuk mengadu nasib mencari pekerjaan demi mendapatkan rezeki untuk menyambung hidup. Mungkin dalam bahasa para TKI, “daripada harus tetap bertahan di dalam negeri, namun berada dalam kelaparan dan kemiskinan, lebih baik menjadi TKI saja.”
Menjadi TKI adalah solusi bagi mereka untuk bertahan hidup. Namun, ironisnya, maksud hati ingin mencari pekerjaan yang nyaman, tapi ternyata justru penganiayaan yang mereka peroleh di luar negeri, seperti yang dialami oleh sebagian TKI; Ceryati dan kawan-kawan.
Selain hal di atas, nasib buruk para TKI juga disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam pengiriman TKI dengan sistem yang buruk pula. Banyak perusahaan ilegal yang mengirim para TKI dengan iming-iming akan dipekerjakan di tempat ini-itu.
Setelah sampai, mereka terkadang tidak mendapatkan apa yang sudah dijanjikan, padahal untuk berangkat saja mereka sudah membayar mahal. Sehingga, ibaratnya, para TKI dijadikan sebagai sapi perahan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, yang terlibat dalam ‘bisnis’ TKI. Mereka justru mencari keuntungan di tengah himpitan penderitaan orang lain.
Kalau pun ada perusahaan yang resmi untuk mengirim tenaga kerja, namun tak bisa diingkari, banyak pula dokumen yang dipalsukan seperti soal umur, dan lain-lain. Lokasi pengiriman TKI juga sering tidak sesuai tujuan yang dijanjikan. Akibatnya, ini pula yang menjadi faktor tersendiri akan pemicu semakin panjangnya daftar penderitaan para TKI.

Peran Pemerintah
Sebenarnya, boleh jadi, rakyat negeri ini tidak akan begitu tergiur untuk menjadi TKI, jika kemiskinan terstruktur yang ‘diciptakan’ negara tidak demikian kejam melanda masyarakat.
Tidak akan terjadi kelaparan dan kemiskinan di dalam negeri sendiri jika tersedia lapangan kerja yang memungkinkan setiap orang untuk mencari nafkah hingga pengangguran tidak terus bertambah.
Masalah TKI ini juga tidak akan terjadi jika saja kesejahteraan hidup terjamin di dalam negeri. Sayangnya, semua ini seakan masih di awang-awang dan sulit dijangkau oleh masyarakat.
Atas berbagai faktor itulah, maka peran pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk menangani urusan rakyat, sangat dituntut keseriusannya. Yang dimaksud adalah tanggung jawab yang maksimal dalam mengurus berbagai problematika masyarakat, terutama mengatasi pengangguran.
Juga dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam menangani penderitaan yang dialami oleh para TKI yang ada di berbagai negara. Setelah ada masalah yang terkait dengan TKI, yang menjadi tanggung jawab dan tugas pemerintah adalah menyelesaikan termasuk mendampingi korban dalam proses hukum.
TKI juga warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan pelayanan negara secara memuaskan, apa pun statusnya. Mereka adalah warga negeri ini yang berjuang mendulang devisa. (***) www.tribun-timur.com

0 comments:

Post a Comment

Design by Free blogger template