Kisah TKI Cici, “Malaysia Seperti Rumah Sendiri”
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Beribu kisah ada ada di balik kedatangan tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib ke negeri jiran Malaysia. Salah satunya, kisah Cici (32 tahun) yang sudah menetap di Malaysia selama delapan tahun. Bahkan suaminya, Sutomo (37 tahun) yang sudah terlebih dahulu berada di Malaysia, sudah mendapatkan kewarganegaraan Malaysia.
Cici datang pertama kali ke Malaysia pada delapan tahun lalu. Kedua anaknya, Saharta dan Aa Kurnaepi, dititipkan Cici kepada mertuanya di Probolinggo, Jawa Timur. Ketika itu, suaminya, Sutomo, sudah dua tahun berada di Malaysia.
Sutomo bekerja sebagai buruh bangunan lepas yang selalu berpindah toke. Penghasilan sebagai buruh bangunan yang diterima suaminya sebesar 50 ringgit per harinya. Penghasilan itu pun tidak tetap. Tergantung pada ada atau tidaknya pekerjaan.
Alasan Cici mau pergi ke Malaysia mengadu peruntungan. "Dulu rencananya mau kerja," katanya, saat ditemui Tempo di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dua tahun pertama, Cici tinggal di Kuala Lumpur. Bersama suami, dia menyewa kamar berukuran 2,5 X 3 meter seharga 250 ringgit perbulannya. Namun karena tidak tahan dengan besarnya biaya hidup di Kuala Lumpur, pasangan suami istri ini memutuskan untuk pindah ke Trenggano karena diajak majikan suaminya mengerjakan pembangunan sebuah perguruan tinggi.
Di sana, Cici diperlakukan baik oleh tetangganya. Setelah sempat menyewa sebesar 150 ringgit per bulan, Cici pun ditawari tinggal gratis di rumah salah seorang tetangganya yang bernama Mohsu Nisah. "Dibagi duduk sama orang sana," kata Cici dalam logat melayu Malaysia yang kental. Karena tidak mau merepotkan, Cici kemudian memutuskan untuk membangun rumah sendiri di atas tanah milik tetangganya.
Rumah kecil dari kayu dengan satu kamar pun dibangun di samping rumah Mohsu yang baik. Tanah milik Mohsu, sementara kayunya diberi oleh seorang toke bangunan keturunan Cina. "Kita cuma beli seng," ujarnya yang didampingi putra bungsunya M Hendri (6 tahun) yang lahir di Kuala Lumpur. Semua itu menurut Cici, karena mereka kasihan dengan kondisi keluarganya. Rumah inilah yang ditempati Cici, Sutomo, dan Hendri selama 4 tahun terakhir.
Selama di Malaysia, Cici mengaku diperlakukan baik oleh warganya, terutama daerah Besut, Trenggano, tempat ia tinggal. Satu-satunya yang mengganjal adalah bila ketemu polisi. Cici mengaku takut bila berpapasan dengan polisi, karena dia sadar bahwa dia adalah penghuni ilegal di Malaysia. Paspor yang dulu digunakan untuk masuk Malaysia pun sudah kadaluarsa. Cici menuturkan, dia mau pulang ke Indonesia karena ada program balik murah dari pemerintah Indonesia.
Cici pulang ke Indonesia bersama Hendri, sementara suaminya masih berada di Malaysia. Hendri sendiri sempat mengecap pendidikan selama dua tahun di Simpang Tiga, Tembila, Malaysia. Bahkan gurunya di sekolah, kata Cici, berharap Hendri tidak ikut ke Indonesia. "Cikgurunya minta dia tetap di Malaysia," tuturnya. Hendri sendiri sudah didaftarkan di Sekolah Dasar di Trenggano, tetapi harus dibatalkan karena pulang ke Indonesia.
Mengenai kepulangan suaminya, Cici mengaku belum tahu. Karena pada dasarnya, suaminya tidak ada masalah berhubung sudah mendapatkan KTP Malaysia. "Mungkin pas Hari Raya Haji," katanya. Cici sendiri mengaku tidak akan kembali lagi ke Malaysia. Dia berencana untuk tinggal di Indonesia, menemani ketiga anaknya.
0 comments:
Post a Comment